(Judul bab baru, sebelumnya Prolog.)
Tidak ada hal yang paling memusingkan di telingaku saat ini, selain kumpulan suara orang-orang berbahagia yang berkumpul dalam satu ruangan besar.
Sebenarnya aku menjadi bagian dari kebahagiaan itu. Tapi konversi ocehan manusia menjadi seperti serangan koloni lebah ini membuat kepalaku yang bermahkota topi toga menjadi pening.
"Kak, ayo keluar. Tunggu apalagi?" Ibuku mulai menoel-noel lengan kananku, mengajakku bangkit dari kursi dan berjibaku keluar dari ruangan. Beradu bahu dengan para bapak dan para ibu wali mahasiswa yang hari ini diwisuda.
"Tunggu, Bu. Nggak lihat itu antriannya kayak mau lempar jumroh begitu? Gepeng Ana nanti."
"Yah, antrian fotonya jadi panjang dong, Kak." Bapak menimpali sambil merapikan jasnya yang kulihat tetap rapi meski tidak dibenahi sekalipun. "Kamu kan biasa desek-desekan di bus."
Tapi aku kan nggak pernah naik bus pake brukat kebaya dan kain lilit yang mencekik kaki, Pak!
"Tunggu longgar dikit." Aku sedang tidak ingin menjadi anak durhaka hari ini. Jadi, aku tidak akan mengeluarkan serentetan kalimat yang berhembus di otakku barusan.
"Banyak ya lulusannya. Tadi yang anak komputer banyak yang cakep juga."
Aku menggosok hidung. Sudah mulai mengerti kemana arah angin pembicaraan ini melaju. Ibu tersenyum penuh kode dan aku berusaha menjadi bocah tidak paham kode.
"Iya, terimakasih pada foundation, concealer-"
"Cowok, Kak! Kamu mah, ih." Ibu memonyongkan bibirnya yang terpoles lipgloss terang. Produk yang ibu beli dadakan kemarin itu sama sekali tidak cocok dengan bibirnya. Ibu terlihat seperti habis makan sebungkus gorengan dengan efek glossy seramai itu. Dan tidak punya tisu untuk mengelap bekasnya. Menyedihkan, tapi aku tidak berani untuk komentar.
Bapak sudah mulai cekikikan, lalu membetulkan dasi yang-demi Tuhan-tidak bergeser se-inci pun!
Ponselku bergetar, pesan baru masuk dan membuatku melihat sebuah foto dikirimkan oleh Nova. Namun, belum begitu jelas karena sinyal yang tidak bagus untuk mengunduh gambar.
"Keluar yuk, Bu, Pak."
"Masih padat tu, Kak. Katanya tunggu longgar dulu." Bapak menimpali langsung.
"Nggak ada sinyal, temenku udah datang deh ini kayaknya." Aku berdiri dari duduk dan berjalan pelan sepetak demi sepetak lantai 30cm, karena rok lilit serta sepatu highheels yang ibuku pesan secara khusus untuk hari ini.
Siapa sih yang mencetuskan wisuda harus pake kebaya dan sepatu wanita?! Kenapa aku tidak bisa menggunakan sepatu gembelku seperti biasa saja!?
"Kamu nggak bisa jalan biasa aja, Kak? Kayak abis sunat gitu."
"Yang kasih sepatu ini siapaaa!?" tanyaku naik pitam. Aku sudah memilih sepatuku sendiri untuk acara hari ini. Tapi ibu berdalih bahwa platform shoes yang kupilih itu lebih mirip sepatu satpam daripada sepatu untuk wisuda.
"Udah-udah, ganti aja nanti. Lia suruh ambilin sepatu kamu aja di mobil, kuncinya dipegang dia, kan? Nanti sampe luar kamu bisa langsung ganti."
Aku bersyukur kewarasan bapakku telah kembali. Euforia wisuda kadang membuat keluargaku jadi setengah waras. Aku jadi ngeri membayangkan bagaimana persiapan pernikahanku nanti?
***
Ternyata di luar ruangan lebih gila lagi. Setelah antrian panjang lempar jumroh usai. Beragam manusia dengan berbagai macam hadiah di tangannya menyerbu dari luar gedung. Berjalan kesana-kemari mencari temannya masing-masing.
Untung saja ideku diizinkan keluarga, jadi teman-temanku tidak akan seperti ayam yang kehilangan induknya, hanya untuk mengucapkan selamat padaku.
Akhirnya foto yang dikirimkan Nova berhasil aku unduh. Pesan selanjutnya pun masuk yang tentunya sesuai dengan dugaanku. Bibirku mengembang puas. Aku memang brilian!
NOVA
Peak! Lo beneran pesen X banner!? Gw kira hoax!!
Aku terkekeh sendiri, melihat foto adikku dengan dress telor asinnya berdiri di samping X banner yang kupesan bertuliskan
Meeting Poin bertemu Ana Sarjana Manajemen. Membuat Lia persis mbak sales kosmetik yang sering ada di mal.ANA
Biar elu ga ribet cuyDan tentunya, agar aku punya spot foto terbaik di area halaman gedung wisuda ini.
121018
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI 1/2 WAKTU
RomancePendidikan 4 tahun dengan gelar sarjana, sepertinya tidak membuatku jadi orang waras. Selembar kertas Lowongan Pekerjaan yang dia berikan hari itu, membuatku merasa jadi orang paling dungu sedunia. Karena, aku tidak punya pilihan selain melamarnya. ...