Hari Pertama.

2.1K 238 10
                                    

Senin pagi.

Bapak dan ibu yang biasa tak acuh dengan rutinitas Lia kini berbeda. Perebutan kamar mandi menjadi penyebabnya. Aku dan Lia sama-sama tidak mau mengalah.

Aku terbangun oleh panggilan alam untuk buang air besar, sementara Lia bersikeras ingin mandi lebih dulu karena harus luluran. Remaja zaman sekarang, mau upacara bendera tak ada bedanya dengan hang out ke mal bersama gebetan. Tubuhnya harus harum semerbak dalam radius dua meter katanya.

Daripada berlama di kamar mandi untuk luluran, kantongi saja kembang melati. Dijamin harum semerbak sepanjang hari. Risikonya? Dijauhi orang yang percaya mitos kalau bau melati pertanda ada hantu perempuan. Sebut saja kuntilanak.

"Kak, apaan sih!" Aku mengusap mataku yang terkena hujan lokal Lia. "Masih pagi, ngomong porno."

Bagi Lia, porno itu meliputi segala hal yang tidak ingin dia lihat. Omong-omong, karena persaingan konyol ini mulasku jadi lenyap tak berbekas.

"Makanya, Kakak duluan yang masuk!" Aku mencoba menggeser tubuhnya dari depan pintu kamar mandi dengan bahuku. Tanganku masih berpegangan di kusen pintu. Sial, meski setengah ketakutan. Bodi Lia masih terpaku di posisi semula.

"Kakak tu ngalah sama adiknya!"

"Teori siapa?" tantangku.

"Hah?!" Alis Lia meninggi.

"Tanpa teori, pendapatmu itu lemah!" Aku memasang wajah serius dosen pembimbing skripsiku dulu.

Yak, fokus Lia terpecah. Wajahnya berpikir keras mencari jawaban untuk melawanku. Karena itu aku berhasil menyingkirkannya dari pertarungan sengit ini.

"Anindita Angelina!" seru Lia murka saat aku berhasil masuk ke kamar mandi dan mengunci pintunya.

Kurang ajar, dia menyebut namaku tanpa gelar!

🎓🎓🎓

"Kalian tu, pagi-pagi udah ribut aja, sih." Bapak memperhatikan Lia yang mengeluarkan sepeda dari pojok halaman sambil menggoyangkan tangannya naik dan turun. Olahraga ala Bapak yang membuatnya jadi seperti anak burung belajar terbang.

"Kamu beneran nggak mau Bapak anter langsung ke kantor? Daripada naik kereta."

Aku menggeleng sambil memperlihatkan layar ponsel. "Udah pesen ojek. Kalau dibatalin, kasihan."

Lagipula, aku bisa dirajam kalau Bapak Ibu tahu aku kerja sebagai apa. Tak berselang lama setelah Lia mengayuh sepedanya ke sekolah. Ojek pesananku tiba.

Setelah mencium tangan Bapak dan Ibu. Aku berangkat sambil menyembunyikan senyum kecut. Aku terpaksa berbohong supaya mereka berhenti cemas. Anak perawan dan penganggurannya frustrasi karena kejamnya persaingan kerja ibu kota.

🎓🎓🎓

Aku menghela napas lega. Kereta di pagi hari sungguh sebuah cobaan. Untung saja apartemen Edward tidak jauh dari stasiun, jadi aku hanya perlu berjalan kaki sebentar sambil mengumpulkan staminaku yang berceceran di dalam gerbong kereta.

Sepatu loafer yang kupakai membuat gejolak aneh di dada merangkak naik ke mata. Ada panas yang perlahan memproduksi air di dalam kelopaknya. Sepatu ini hadiah dari ibu untuk hari pertamaku bekerja. Tapi sayangnya, pekerjaanku di luar ekspektasi mereka.

Karena tidak ingin orangtuaku curiga. Aku memakai black trousers dan kemeja polos berwarna biru langit—yang juga hadiah. Kata Bapak agar aku semangat bekerja.

Oh, Tuhan. Aku sungguh berdosa. Tapi kuharap enam bulan ke depan akan berjalan lancar. Dan tidak menyakiti hati siapa pun juga.

🎓🎓🎓

ISTRI 1/2 WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang