Pakaian Dinas.

2.4K 251 43
                                    

Ada dua hal yang membuat pagiku terasa lebih berat dari biasanya. Pertama: impitan manusia di gerbong perempuan yang rupanya lebih ganas daripada gerbong campuran. Kedua: menu makan Edward yang picky soal asupan semenjak kejadian asal ngemplok udang di swalayan.

Sebenarnya, aku ingin sekali bercampur dengan laki-laki di gerbong umum. Siapa tahu bisa ketemu yang parasnya menyerempet wajah Pangeran Abdul Mateen. Tapi aku agak trauma dengan aroma pria karena ucapan Lia kemarin malam, jadi aku lebih pilih gerbong wanita.

Sementara Edward. Aku tidak bisa protes lebih lanjut saat dia mulai merecoki pekerjaan dapurku. Karena pada akhirnya, dia yang pertama kali kejang-kejang kalau sampai keracunan masakan buatanku. Aku termasuk yang kebal lambung, selama bukan racun. Jadi mau seaneh, sementah, bahkan segosong apa pun makanannya. Aku masih bisa makan. Alhamdulillah. Aku punya bakat survive lebih besar ketimbang manusia pada umumnya.

Kereta mulai memperlambat kecepatan karena memasuki stasiun ketiga dari tempatku naik. Dorongan dari segala penjuru semakin menekan badan kurusku. Aku berdoa pada Tuhan agar keluar dari sini tidak dalam bentuk segepeng Tom saat dikerjai Jerry Si Tikus yang selalu beruntung.

Di tengah hiruk pikuk suara kaum hawa yang berdesakan, ponsel dalam saku celana kulotku berdering. Merdunya nyanyian Mbak Jennie mencuri perhatian sekitar, hingga aku harus buru-buru membisukannya.

"Ya, apa?" kataku langsung. Fathia di ujung sambungan.

"Lo lagi di mana?"

"Perjalanan menuju penderitaan. Kenapa, sih?" Aku senewen. Dia orang pertama yang mendorongku ke jurang pekerjaan konyol ini, tapi dia juga yang seakan amnesia tentang dosanya sendiri.

"Jangan marah, ntar cantiknya luntur." Fathia terdengar tertawa singkat. Sial, dia menyamakan wajahku dengan baju berwarna yang direndam deterjen dua malam.

"Gue sibuk, nih. To the point deh." Kereta mulai melaju, dan tekanan cobaan itu kembali datang dari sebelah kananku. Untungnya seluruh penghuni kaum hawa di gerbong ini masih wangi. Jadi paru-paruku terselamatkan meski tubuhku mulai gepeng perlahan.

"Oke jadi gini, gue udah nemu orang yang lebih expert di bidang fashion design. Dan dia siap ikut merintis bareng kita dari awal. Dari nol."

"Ralat, Sis. Kita ini mulai dari minus. Semua modalnya cuma berasal dari nasib gue yang ngebabu enam bulan ke depan," jawabku dingin.

"Sorry deh, Na." Suara Fathia memelan. "Gue akan coba semaksimal―"

"Coba!?" Aku naik pitam. "Harus maksimal, dong! Enak aja lo!"

"Iya, iya. Maksudnya, kita akan semaksimal mungkin. We are a team, aren't we?"

Aku hanya bergumam. Kalau sekali lagi berteriak. Mungkin aku akan dipelototi berjamaah oleh seluruh penumpang.

"Alon-alon sing penting kelakon, Na."

Si Jawa ini mengajakku bercanda pagi-pagi. "Ndasmu," ketusku sepelan namun setajam mungkin.

"Hal yang dikerjakan buru-buru, nggak akan bagus hasilnya." Fathia meluruskan maksud perkataannya.

Aku menarik napas panjang, mencoba mengelola dengan baik emosiku saat ini. "Tapi nggak diseriusin pun nggak akan maksimal hasilnya."

ISTRI 1/2 WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang