"Lo mau nggak jadi pacar gue?" Rio berlutut sambil memegang salah satu tanganku.
Aku terdiam cukup lama. Membiarkan suara jangkrik dan angin malam mengisi keheningan diantara kami.
FYI, aku dan Rio sedang berada di taman dekat rumahku. Sebenarnya, Rio tadi mengajakku ke puncak berhubung besok adalah hari Minggu. Tapi, aku menolak. Aku sudah menduga kalau akhirnya akan seperti ini.
"Sorry, gue gak bisa," jawabku enteng seolah sudah hafal diluar kepala. Memang kenyataan, sih.
Rio terlihat kaget. Ia langsung berdiri dengan tetap memegang tanganku. "Kenapa? Bukannya dua bulan terakhir ini kita udah deket banget? Gue sayang sama lo, Sar. Lo juga, kan?" desak Rio.
"Iya. Gue sayang sama lo," aku bisa melihat mata Rio berbinar, "tapi, cuma sebagai kakak. Maaf, Yo."
Perlahan aku melepas kedua tanganku dari genggaman Rio. Ia masih bergeming dengan tatapan yang sedari tadi tak lepas dari mataku. Entah apa yang dipikirkannya. Tapi, aku risih juga lama-lama.
Aku sudah berbalik badan dan bersiap pergi hingga Rio menarik lenganku kencang, membuat tubuhku kini menghadap dirinya lagi. "Lo gak bisa mainin gue kaya gini, Sar!" bentak Rio.
Aku memutar bola mata samar. "Mainin gimana, sih, Yo? Gue gak pernah ada niat kaya gitu. Dari awal gue emang anggap lo sebagai kakak."
"Kakak apaan? Anjing!"
Aku melotot mendengar umpatan Rio. Tapi, kemudian aku menormalkan kembali ekspresi wajahku. Yah, kalaupun aku anjing, aku akan jadi anjing Maltese yang imut dan berbulu lembut itu.
"Gue temenin lo jalan, anterin lo ke sekolah walaupun kita gak satu sekolah! Bahkan gue dateng saat lo minta gue buat jemput lo di tempat les waktu hujan deres!" tambah Rio. Aku hanya diam.
Ia mendengus keras-keras. "Oh, gue tau! Jadi, selama ini lo cuma manfaatin gue?! Iya, kan?! Ternyata bener kata orang-orang, lo tu murahan!" lanjutnya emosi.
Oke. Aku mulai kesal! Kuhempaskan tangannya yang sedari tadi memegang lenganku. "Jaga ya mulut lo! Emangnya gue pernah maksa lo? Lo sendiri yang mau! Bego!"
"Kurang ajar!" Rio mengangkat tangannya. Ia mau memukulku!!
Refleks aku menyilangkan kedua tanganku menutupi kepala.
Bugh.
Aku bisa mendengar suara pukulan, tapi, entah kenapa aku tak merasakan sakit sama sekali. Karena penasaran aku menurunkan kedua tanganku perlahan. Hal pertama yang kulihat adalah punggung cowok tinggi tepat di hadapanku. Ia memakai hodie berwarna hitam ke abu-abuan.
Kemudian, aku juga melihat Rio jatuh tersungkur sambil memegang sudut bibirnya.
Oh, ternyata Rio yang kena pukul cowok di depanku. Mampus!
"Brengsek! Lo siapa? Jangan ikut campur!" umpat Rio yang sudah berhasil berdiri lagi.
"Hehe. Lo banci, ya? Masa mau mukul cewek?" ejek cowok di depanku.
Ckckck. Keren, pikirku. Bisa-bisanya ia tertawa disaat seperti ini.
"Sialan! Kalo gak ngerti masalahnya mending lo diem! Oh! Jangan-jangan lo juga salah satu cowok dia, ya?" Rio nunjukku. Aku melemparkan pelototanku padanya. "Bitch!" serunya kemudian pergi.
Aku merasa kesal saat Rio menyebutku begitu. Tapi, ya sudahlah. Banci macam dirinya tak perlu diladenin, kan? Melihatnya yang lari bagai dikejar satpol PP begitu, membuatku menyesal. Bagaimana bisa aku dekat dengan cowok sepertinya?! Memalukan!

KAMU SEDANG MEMBACA
Stalker
CasualeTiba-tiba Angga mengeluarkan sesuatu dari belakang. Sepertinya dari saku celananya. Membuatku was-was dan mundur selangkah. "Ini." Angga menyerahkan.. pisau lipat? "Buat apa?" Aku sudah mengambil ancang-ancang kabur, kalau-kalau Angga menjawab akan...