Bagian 7

4.6K 434 56
                                    

Ini Rabu, gengs. :)
Sebenernya, part ini udah lama mengendap di draft :b
Maapkeun..
Happy reading :*

○○○

"Sarah, nanti malam jangan kemana-mana, ya."

Aku menoleh pada Mama yang tengah fokus menyantap nasi goreng sedikit gosong miliknya, serupa milikku dan Papa, menu sarapan kami hari ini, yang dibuat susah payah oleh Mama sendiri.

Aku harap Mbak segera kembali.

Aku mencebikkan bibirku. Tak berniat menjawab. Kalau aku tak salah ingat, Mama yang melarangku mengoceh ketika makan. Dan sekarang Mama sendiri melakukannya.

Terserahlah. Toh, orangtua selalu benar, kan?

"Dengar Sarah?" tegas Papa, yang duduk di bagian kepala meja.

Nah, kan. Apa kubilang?

Aku amati piring Papa yang tinggal beberapa suap saja. Padahal piringku masih penuh. Cukup susah menelannya. Mungkin Papa merasa tak perlu susah-susah mengunyah makanan setengah gagal ini. Bukannya aku kejam, tapi, ini memang faktanya.

Aku berdehem. "Memangnya kenapa?" Seingatku, kalaupun aku tak pulang, Papa dan Mama juga tak terlalu peduli.

Aku hanya menyimpan kalimat terakhir itu dalam hati.

"Kamu ikut Papa dan Mama. Ada acara ulangtahun perusahaan milik teman Papa. Oke, Sarah?" Mama tersenyum padaku dan menekankan dua kata terakhir.

Sekarang aku tahu alasan fenomena langka ini bisa terjadi. Maksudku, sarapan bersama.

Belum sempat aku menjawab, Mama sudah kembali berceloteh tentang gaun yang telah ia pesan untukku khusus untuk acara malam nanti. Merek ternama katanya. Entahlah. Aku tak paham. Juga tak peduli.

Sebenarnya, setelah ini aku ada janji dengan Vira. Aku akan menginap di rumahnya. Kemudian kami akan evaluasi pelajaran bersama untuk UTS yang akan diadakan hari Senin, besok.

Yah, Mama dan Papa mungkin tak ingin tahu soal hal itu, seperti mereka tak ingin tahu bagaimana pendapatku.

○○○

Tak pernah aku membenci malam sampai begini. Selain karena aku harus menghadiri acara yang tak penting, bagiku, aku juga batal menginap di rumah Vira.

Aku memberengut. Rumah Vira bukannya lebih besar atau lebih mewah dari rumahku. Jelas rumah hasil kerja keras Papa siang malam hingga jarang pulang ini lebih segalanya. Hanya saja, di sana lebih hangat. Ada tawa, canda, juga bahagia. Dan yang lebih penting adalah kebersamaan. Semua itu menghantarkanku pada kehangatan yang belum pernah kurasakan.

Ah, aku rindu Ayah, Ibu, dan adik perempuan Vira. Benar-benar beruntung temanku itu.

Aku menghela napas. Kupandangi pantulan diriku dalam kaca. Oke, aku harus jujur kalau gaun yang dipesan Mama sungguh indah. Dan wajahku? Lumayan. Kerap kali orang mengatakan aku ini cantik. Aku tahu, jawabku pada mereka. Kemudian mereka akan menekuk bibir kesal.

Aku tersenyum. Membuat orang jengkel itu hobiku. Semua orang tanpa terkecuali.

Aku mendekati laci untuk mencari jepit rambut yang bisa menghalau rambut-mirip-poni-tapi-bukan-poni milikku. Ini terlalu panjang untuk disebut poni. Dulunya adalah poni sewaktu aku habis nonton salah satu drama Korea tentang cewek super.

Beberapa langkah menuju laci, kakiku terhenti. Mataku terfokus pada benda hitam diatas laci, yang kalau dipencet tombolnya akan muncul sesuatu tajam berkilauan.

Pisau lipat milik Angga.

Oh, kecuali orang itu. Aku bergidik. Aku tak akan ingin melihat ekspresi kesalnya lagi, seperti ketika ia melihatku dengan Guntur.

Setelah kejadian itu, Angga sama sekali tak menampakkan batang hidungnya. Pada sekolah, ia meminta izin karena ada acara keluarga. Aku tak mengerti. Acara keluarga macam apa yang membuatnya membolos hingga minggu berakhir. Aku sedikit kesal. Tapi, juga merasa aman.

Lucunya.

Mengurungkan niatku untuk mengambil jepit rambut, aku justru berbalik dan memilih keluar kamar. Aku selesai.

"Wah, anak Mama cantik banget!" Mama menyambutku yang baru turun dari lantai dua dengan wajah berseri-seri. Aku balas tersenyum tipis, sangat tipis.

"Mama juga cantik." Satu kalimat yang menyenangkan Mama keluar dari mulutku.

"Ayo, kita sudah terlambat!" Papa dan ketidakpeduliannya. Sepertinya, ia pun mulai bosan mendengar omong kosong antar perempuan.

Setidaknya, aku berterima kasih padanya untuk itu.

Aku mengendarai mobilku sendiri, dengan mobil Papa dan Mama yang memimpin, setelah melewati perdebatan alot dengan Papa. Ia mengalah, tak lain hanya karena waktu yang kian mepet.

Siapa juga yang mau terjebak dalam situasi awkward. Asing. Lebih baik aku sendiri. Sepi.

Kami sampai di sebuah hotel. Acara itu diadakan di ballroom. Aku mengamati sekeliling. Ramai. Mewah. Eksklusif.

Semua orang kaya.

Aku melangkah, mengekori Papa dan Mama. Dari jauh kulihat orang-orang bergantian menyalami lelaki paruh baya, yang kutaksir umurnya tak jauh beda dari Papa. Kami juga mendekatinya. Itu pasti teman Papa, tuan acara.

Papa dan lelaki paruh baya itu berpelukan akrab. Baru kali itu kulihat Papa tertawa begitu lebar. Ia tak pernah melakukannya di rumah kami. Walau aku tahu alasannya, ini tetap terasa tak adil.

Setelah Mama, gantian aku yang menyalami teman Papa itu.

"Sarah." Aku tersenyum sopan.

"Oh, kamu sudah besar, ya! Panggil saja Om Handoko. Om ini teman papamu sedari SMA." Om Handoko terlihat antusias. "Anak Om juga seumuran kamu. Baru pindah di SMA mana itu, ya? Yang negeri terus dekat gedung olahraga. Om lupa namanya."

Aku melebarkan mata. Jangan-jangan-

"SMA Negeri 13? Wah, Sarah juga di sana!" Mama bersuara, bersemangat.

Om Handoko sumringah. "Benar-benar kebetulan yang menyenangkan! Kamu tahu Angga, Sarah? Itu anak Om."

Speechless. Tak salah lagi! Kenapa? Kenapa, Tuhan?! Kenapa takdirku selalu bertautan dengan cowok menyeramkan itu?!

Tak pernah kusangka, Angga anak Om Handoko, teman Papa. Om Handoko kelihatan selalu happy, sedangkan Angga itu hampir selalu creepy. Jauh banget. Aku kira jadi teman sebangkunya saja sudah jadi suratan takdir terburuk dalam hidupku. Ternyata semua memang tak pernah mudah buatku.

Haruskah aku jujur tentang Angga? Tapi, cepat atau lambat, Om Handoko bakal tahu juga dari anaknya itu. Aku meringis. "Angga Prasetya? Itu teman sebangku saya, Om."

Papa, Mama, dan Om Handoko berpandangan sebelum kemudian tertawa. Aku tak tahu bagian mana yang lucu dari jawabanku. Aku hanya tersenyum untuk mengimbangi. Kan aneh kalau ketiga orang ini tertawa sedangkan aku masih terbengong-bengong memikirkan latar belakang tawa mereka.

"Kamu dengar itu, Bro? Jalan kita terbuka dengan mudahnya!" Om Handoko mulai berbicara, yang jelas kurang kumengerti, pada Papa.

Jalan apa? Jalan tol? Benar-benar tak nyambung kalau kenyataannya begitu.

"Ya! Ini awal yang baik." Papa berkata tenang. Tapi, masih saja tersenyum lebar. Mama pun tak kalah senang.

Apa hanya aku di sini yang tak mengerti?

"Jadi, gimana menurutmu si Angga itu, Sar?" Om Handoko menggodaku.

Jelas sudah maksud terselubung mereka. Aku dan Angga--

"Nggak baik membicarakan orang di belakang, Pa."

Aku melotot. Perutku bergejolak. Jantungku serasa seperti gendang perang di dalam sana. Semua saraf tubuhku menegang. Benar-benar berpengaruh suara dibelakangku itu.

Terdengar berlebihan, tapi, itu kenyataan. Menoleh pun aku tak kuasa.

"Nah, ini anaknya, Sar! Angga, sini! Sarah nyariin kamu, nih!"

Aku ingin pingsan.

Tbc..

StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang