Saat sampai di ruang tamu, aku benar-benar terkejut.
Dimana Angga?
Aku menaruh cangkir kopi panas di atas meja. Kemudian beranjak keluar rumah.
Mobil Angga tak ada.
Wah.
Astaga.
Aku tersenyum tak habis pikir. Bagaimana bisa Angga pergi tanpa pamit?
Mengesalkan.
Apa ia semacam Jailangkung, datang tak diundang pulang tak diantar?
Sialan.
Aku masuk kembali ke dalam rumah. Menatap kopi susu yang kubuat dengan penuh kepayahan.
Benar-benar sialan.
Aku tak suka kopi.
○○○
Sudah lewat seminggu sejak pertemuan keduaku dengan Angga. Pertemuan yang sangat berkesan. Mengingat ketika ia tiba-tiba menghilang dan membuatku harus membuang secangkir kopi yang kubuat susah payah, membuatku sedikit jengkel. Satu hal yang terus kusesali, harusnya waktu itu aku membuat teh saja.
Setelah kejadian itu, ia menghilang bak ditelan bumi. Bahkan, aku tak melihatnya di tempat les kemarin, hari yang sama ketika kami bertemu. Harusnya ia juga ada, bukan? Jika ia memang les di sana.
Aku sedikit penasaran. Hanya sedikit. Lebih banyak mengacuhkan. Memangnya ia siapa? Aku tak perlu pusing-pusing memikirkannya.
"Sar!" Seseorang mengguncang pundak kananku. Aku menoleh.
"Lo kenapa? Ngelamun mulu," tanya Vina, mengerutkan kening.
Aku menatapnya, membuka mulutku, tapi, kemudian urung. "Nggak pa-pa," ujarku, akhirnya.
"Lo masih marah ama gue? Ey, maaf, dong, soal Rio itu-"
Aku menceritakan semua kejadian pada malam itu. Minus Angga.
"Siapa juga yang marah? Siapa juga yang mikirin lo? Pede banget," sungutku, menyela ucapan Vina.
Kami sudah baikan, tentu saja. Aku tak pernah serius ketika berpikir akan mengumpankan Vina pada ikan piranha. Karena aku berencana menjadikan Vina santapan makan siang ular piton milik Papa. Haha.
"Lah, terus lo mikir siapa? Cowok? Buset! Akhirnya, lo jatuh cinta juga!" seru Vina heboh, menyedot perhatian beberapa anak yang duduk di sekitar kami.
Aku mendelik. "Jangan keras-keras, dong! Masih pagi juga. Ini kantin bukan hutan. Dasar tarzan," ejekku.
Kami tengah berada di kantin. Sedar ngobrol sambil menyesap jus buah favorit masing-masing. Ini semacam ritual tiap pagi, sebelum kami pergi ke kelas masing masing. Kami memang tak sekelas.
Bibir Vina mengerucut. "Tapi, beneran, deh. Cowok sakti mana yang udah bikin temen gue ini jatuh cinta?"
Aku menatapnya sangsi. "Maksud lo apa? Seolah-olah lo bilang kalau gue jatuh cinta itu jadi fenomena langka. Lo kira gue nggak normal?"
"Lah, emangnya lo normal?" Aku memukul kepala Vina, pelan. Ia memekik tertahan.
"Lo emang nggak normal kali. Deket sama banyak cowok, ganti-ganti lagi. Tapi, dari lahir status lo masih sama, jomblo!" Mata Vina memicing. "Ini antara lo nggak doyan laki atau lo ternyata lesbian?"
Aku memutar bola mata jengah. "Itu mah sama aja. Lesbian, kan, nggak doyan laki."
Vina menganga. "Jadi, bener?" Ia beringsut menjauh. "Jadi, selama ini cowok-cowok itu cuma kamuflase? Jangan-jangan lo suka sama gue? Gue-"
Vina berhenti bersuara saat aku menyumpalkan gulungan tisu pada mulutnya.
"Gue nggak ngerti jalan pikiran lo, Vin. Pemikiran lo itu kreatif, tapi, juga mengerikan," aku terkekeh, "gue masih doyan cogan!"
Vina melempar tisu--yang kusumpalkan di mulutnya tadi--padaku. Ia tertawa. "Tapi, gue serius, deh. Lo tiap ditembak pasti nolak. Sebenernya kenapa, sih?" Ia menatapku penuh harap. Berharap akan jawaban yang tak pernah ia dapatkan selama ini.
"Gue, kan, emang cewek murahan," jawabku sekenanya.
"Hey!" hardik Vina. Ia menghela napas. "Jangan ngomong gitu lagi. Gue nggak suka. Gue yakin lo pasti punya alasan ngelakuin semua ini. Lo bisa bilang ke gue kali aja gue bisa bantu. Sebenernya ada apa?"
Aku menoleh pada Vina sebentar kemudian kembali menatap ke depan.
Kami, aku dan Vina, sudah berteman cukup lama. Semenjak kami duduk di bangku SMA. Berarti sudah hampir tiga tahun. Aku punya banyak teman, tapi, Vina yang paling dekat. Walau hanya saat kelas sepuluh kami berada di kelas yang sama.
Ia selalu ada di sampingku. Ia tak pernah menghakimiku. Tapi, itu tak berarti Vina tahu semua tentangku. Bukannya ia tak peduli, tapi, akulah yang terlalu menutup diri. Ia selalu berusaha mengerti. Selalu ia yang berusaha.
Seperti sekarang. Hanya ada keheningan diantara kami, tapi, ia masih saja diam. Menunggu diriku menjawab pertanyaannya atau mengalihkan pembicaraan seperti biasanya.
"Balik ke kelas, yuk."
○○○
"Pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru."
Bu Rani, yang tak suka basa-basi, menyapa bersama kabar yang cukup mengejutkan. Tak ada angin, tak ada hujan, pun tanpa pemberitahuan.
Kasak-kusuk langsung terdengar dari seluruh penjuru kelas XII IPA-2. Aku mendengus. Memangnya apa yang salah jika ada anak baru? Aku tak tahu dimana letak menariknya sehingga seisi kelas langsung ricuh karena hal ini.
"Sar, mau taruhan? Gue tebak anak barunya cowok," ujar Lili, teman sebangkuku, setelah menyenggol lenganku.
Aku berpikir sejenak. "Gue ambil cewek," ucapku kemudian. Ia nampak tersenyum puas lalu mengalihkan pandangan lagi ke depan. Aku mengikutinya.
"Harap tenang anak-anak." Bu Rani memukul meja guru untuk mendapat perhatian anak-anak. Berhasil. Mereka diam. "Kamu. Ayo, masuk," perintah Bu Rani pada seseorang di luar. Siapa? Entah. Belum terlihat.
Beberapa detik kemudian, rahangku seakan jatuh ke meja. Benar-benar terkejut. Itu cowok.. bukan! Bukan karena aku kalah taruhan dari Lili. Tapi, cowok itu.. itu Angga!
Ia terus menatapku lurus. Aku membalas tatapannya. Entah apakah semua orang sadar. Rasanya seperti waktu berhenti disekitar kami. Wah, melankolis banget kamu, Sar, komentarku, menampar jiwa khayalku.
"Silakan perkenalkan diri kamu."
Suara Bu Rani menginterupsi Angga. Tersadar, aku menundukkan kepalaku. Sialan. Bagaimana ini bisa terjadi? Apa ini benar-benar kebetulan?
"Lo kalah," ujar Lili mendekat kepadaku. Ia terkekeh.
Aku cemberut. "Iya. Oke. Nanti istirahat." Aku cukup hafal. Taruhan Lili pasti tak jauh-jauh dari makanan.
"Tapi, gue nggak nyangka anak barunya bakal seganteng ini?" Lili memekik pelan bagai seorang fangirl bertemu idolanya di perpustakaan.
Aku diam saja.
"Nama gue Angga. Salam kenal."
Gitu, doang? protesku dalam hati. Sepertinya satu kelas sepimikiran, karena mereka juga menyerukan hal yang sama. Walau anak-anak perempuan lebih heboh.
Aku setia menatap meja. Tak berani menatapnya. Takut kalau tatapan Angga masih sama, menatap lurus padaku. Itu menyebalkan, asal kalian tahu.
"Sudah, sudah. Kalian bisa lanjutkan perkenalan saat jam istirahat. Nah, Angga kamu bisa duduk-"
"Mm, Bu," sela Angga. Aku mengangkat kepalaku. Ia menatap Bu Rani, meminta persetujuan untuk melanjutkan kalimatnya. Bu Rani hanya diam mendengarkan. "Boleh saya duduk bareng Sarah?"
Deg.
Sialan.
Tbc..

KAMU SEDANG MEMBACA
Stalker
De TodoTiba-tiba Angga mengeluarkan sesuatu dari belakang. Sepertinya dari saku celananya. Membuatku was-was dan mundur selangkah. "Ini." Angga menyerahkan.. pisau lipat? "Buat apa?" Aku sudah mengambil ancang-ancang kabur, kalau-kalau Angga menjawab akan...