Bagian 2

6K 428 20
                                    

Aku segera membereskan buku-bukuku setelah Bu Aru, guru les matematika itu, undur diri. Begitu juga anak-anak lain. Tak sabar ingin segera keluar dari ruangan menyesakkan ini. Bagaimana tidak menyesakkan kalau sedari tadi kami terus saja dijejali rumus-rumus entah apa itu, yang bagiku lebih terlihat seperti tulisan alien.

"Sar, duluan, ya." Michella berlalu setelah aku mengangguk. Cewek blesteran Indonesia-Amerika itu adalah satu-satunya teman akrabku di tempat les ini. Rasanya malas kalau harus mengulang perkenalan diri hingga belasan kali. Satu saja sudah cukup bagiku.

Aku segera melangkahkan kakiku menyusuri koridor. Tempat les ini memang cukup besar dan sudah terkenal. Sayangnya, tak ada teman sekelasku yang juga les di sini. Jadi, aku hanya sendiri. Sebenarnya, aku baru les di sini sekitar dua bulan lalu. Sejak semester pertamaku di kelas dua belas dimulai. Tentu saja ide les ini bukan dari diriku sendiri. Mama terus saja memaksa dan mengancam akan memotong uang jajanku. Kalau sudah begitu memangnya aku bisa apa?

Brukk.

Seseorang menabrakku membuat buku-bukuku berjatuhan di lantai. Aku mengumpat dalam hati.

"Lo-" Umpatan yang sudah siap kulontatkan langsung kutelan kembali setelah melihat siapa orang kurang ajar yang telah menabrakku.

Menyadari keterkejutanku, cowok di hadapanku itu justru tersenyum manis. "Ketemu lagi, ya, Sarah."

Aku mengangkat sebelah alisku. "Angga?"

Iya. Itu Angga yang menolongku dua hari lalu. Ia masih sama saja seperti terakhir kali aku melihatnya. Sama-sama tampan. Ehem. Bukan hanya itu sebenarnya, gayanya juga sama. Ia menggunakan hoodie berwarna putih tulang. Waktu itu ia memakai warna hitam, kan?

"Lo inget gue, ya? Ah, seneng rasanya," balasnya, masih tersenyum.

Aku sedikit terkekeh. "Lo pikir gue sepikun apa?" Aku menatap buku-bukuku yang masih tergeletak di lantai. "Kayanya lo dendam sama gue, ya? Baru ketemu udah main nabrak aja."

Angga tersentak. "Ah, sorry!" Ia segera jongkok dan mulai memunguti buku-bukuku.

Aku tersenyum kemudian ikut jongkok dan membantunya. "Iya. Santai aja."

Selama aku les di sini aku belum pernah melihat Angga. Sejenak terlintas kalimat terakhir Angga malam itu 'see you soon, Sarah'. Muncul berbagai prasangka dalam kepalaku. Apa ini benar-benar hanya kebetulan? Atau jangan-jangan ia mengikutiku? Tapi, benar-benar kecil kemungkinannya. Astaga! Kenapa aku jadi kepedean?

"By the way, lo les di sini juga?" tanyaku saat kami sudah selesai memunguti buku dan kini berjalan berdampingan. Bagaimana bisa? Ia yang mengikutiku. Kalau aku, sih, ingin pulang. Entah bagaimana Angga. "Eh, gue mau balik, loh, ini. Lo mau kemana?" Aku berhenti melangkah, Angga melakukan hal yang sama.

"Iya. Gue les di sini," Angga membenarkan posisi tas yang ia sampirkan di bahu kirinya, "Gue udah kelar, sih. Gue anter lo balik boleh, nggak? Gue bawa mobil."

Aku terhenyak beberapa saat. Gercep juga ini bocah, pikirku. Bilang saja aku kepedean. Tak apa-apa. Lagi pula kamu nggak akan bisa hidup tanpa rasa pede. Tapi, aku serius kali ini. Dekat dengan banyak cowok membuat paham akan tindak-tanduk mereka. Yang begini ini biasa disebut modus. Ya, kan?

Rasanya menyenangkan, tapi, juga tak nyaman. Karena sebelumnya, seperti yang kukatakan, aku berencana mendekatinya, tapi, kemudian urung. Aku tak ingin kelak hubungan di antara kami berakhir buruk. Mengerti, kan, maksudku?

Belum?

Ah, baiklah.

Aku ini playgirl. Aku ini cewek murahan. Aku ini cewek gatel. Begitu kata mereka.

StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang