Downpour

86 12 0
                                    

Valarie POV:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Valarie POV:

Tanganku bergetar hebat, sulit sekali bagiku hanya untuk mengatur nafasku yang sesak. Hari ini aku harus check-in kedokter. Obat adalah alat untuk aku bertahan hidup. Aku tahu, hidupku ini miris, jatuhnya malah menyedihkan.

"Valarie !" Teriak melengking itu terdengar keseluruh penjuru ruangan bernuansa putih pucat, sederhana, namun keestetikannya mengingatkanku pada masa yang tidak seharusnya terjadi.

Dari kecil juga kedua orang tuaku sudah meninggal. Dan karena itu, aku sudah terbiasa menjalani hidup seperti ini.

Walau hidupku seperti ini aku hanya dapat bersyukur dan sudah sepatutnya aku bisa hidup dengan berdo'a dan bersyukur.

Aku pun berjalan kearah nenekku yang tepat berada didepan pintu cokelat kayu tersebut. Hari ini aku akan diterapi radiasi guna untuk menghilangkan sisa tumor didalam otakku.

No One POV

Musim gugur secepat mungkin akan tiba, menganti musim yang lalu untuk menghilang. Paparan di hadapannya membuat dirinya termenung, memikirkan suatu hal yang tak pasti.

Angin berderu cukup kencang, menemani seorang gadis berparas manis di tengah malam, hangatnya embun kopi membuat telapak tangannya menghangat. Mata satunya itu ia pendarkan, mencari cahaya yang telah lama hilang bagai ditelan bumi.

"Reinna?" Panggil seseorang, yang amat ia kenal dan ia sesali. Dalam seumur hayatnya.

"Woojin." Balas Reinna sembari tersenyum dalam dinginnya malam. Pria itu hanya tersenyum kecut, ada rasa khawatir yang menyelubungi dirinya. Namun ia tahu, masa lalu adalah masa lalu. Tak ada seorang pun yang dapat merubahnya, bahkan dirinya sendiri.

Labuhan jauh akan mimpi, memori serasa menari - nari dalam pikirannya yang masih menggerutu, sosok kasat mata melirik tajam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Labuhan jauh akan mimpi, memori serasa menari - nari dalam pikirannya yang masih menggerutu, sosok kasat mata melirik tajam. Menusuk tulang.

Dengan langkahan pendek miliknya, ia tersenyum paksa seraya melampiaskan seluruh kekesalannya pada seluruh jalan yang ia lewati satu persatu. Kegagalan, memang suatu julukan yang ia pantas dapatkan. Sejauh manapun ia mencoba, hasilnya akan selalu berakhir sama. Nihil, yang ia dapatkan sejauh ini.

Bahkan isakan sang awan mengerti apa yang ia tengah rasakan, rembulan pun tahu. Apapun yang ia tutupi, akan kembali menyakitinya, sebagaimana ia menyakiti gadis yang ia cintai dalam ke sendirian nya yang telah membuatnya pilu.

Buggh!

Gadis blesteran itu dengan cepat menghentikan langkahan kakinya yang jenjang. Pandangannya ia alihkan, mencerna hal apa yang tengah terjadi. Dengan gesitnya gadis itu mengobati luka sang pria dengan telaten.

Tapi itu dahulu, dan hal itu hanyalah memoria kecil yang perlu dihapus dalam kenangan tak terbalas, nyata, kejadian itu benar terjadi. Tapi apalah daya hati yang terus mengharapkan suatu hal tidak pasti. Apalagi terjadi.

Mentari terbenam dan fajar menyising pada kebisingan laut yang berombak pada hatinya yang letih akan harapan tak pasti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mentari terbenam dan fajar menyising pada kebisingan laut yang berombak pada hatinya yang letih akan harapan tak pasti.

Valarie, gadis itu tersenyum miris kearah jendela kamarnya yang tengah tertutup rapat. Sama seperti ingatan miliknya dahulu.

MomentumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang