Bagian 1 - Prolog

37 3 0
                                    

Tanggal 7 Desember 1941, sebuah kejadian besar dalam sejarah dunia terjadi. Jepang secara tiba-tiba menyerbu Asia Tenggara dan mengebom salah satu pangkalan militer Amerika; Pearl Harbor.

Atas kejadian tersebut, pada keesokan harinya Gubernur Jenderal Hindia Belanda (sekutu) Tjarda van Starkenborgh Stachhouwer menyatakan perang terhadap Sang Negeri Matahari Terbit.

"Cepat! Kita harus segera bergerak ke utara barak!" Suara tegas seorang pria yang gagah memberi perintah. Rupanya tepat di malam yang sama sekelompok rakyat Indonesia anti Belanda sedang menyerang salah satu markas militer Belanda di Kota Buitenzorg atau yang sekarang sering kita sebut Kota Bogor. "Siap pak!" Sahut salah seorang pemimpin regu, Asep Komarudin. Asep adalah seorang warga Subang yang mengabdikan dirinya untuk negerinya, apapun akan ia lakukan demi melepaskan tanah airnya dari belenggu kompeni.

Naas, usaha mereka gagal. Kompeni ternyata sudah memiliki seribu mata di tanah kita yang siap membocorkan pergerakan-pergerakan Anti Belanda. Asep dan seluruh pasukan rakyat dibawa ke daerah Lembang, di sana mereka dipenjara oleh kompeni, dan disiksa atas perbuatan mereka yang merugikan bagi kompeni.

Desas-desus perihal pergerakan rakyat Indonesia jarang terdengar oleh Asep lewat para penjaga ruang tahanan. Kabar yang ia terima selalu soal penjarahan yang dilakukan kompeni kepada rakyat pribumi. Bahkan adiknya; Andhini Sukma Putri yang tiap malam menjenguk kakaknya itu tak pernah membawa kabar yang mengindahkan telingahnya. "Kak, penyakit ayah semakin parah. Berdiri pun tak bisa. Aku dan ibu kini harus merawat kebun keluarga. Dan seringkali tentara kompeni datang untuk meminta bagian atau sekedar melecehkan." Ucap Andhini malam ini. Asep hanya bisa menarik napas panjang. Mentalnya semakin terjun ke ruang tak berdasar. Dan ucapan "Kalau saja aku" selalu terbesit di pikirannya. Seorang Asep yang berani melawan penjajah sudah berubah menjadi seorang yang lembek.

Namun, suatu hari ia mendengar kabar yang tak biasa dari pembicaraan penjaga. Bahwa tentara penjajah di Pulau Tarakan sudah dipukul mundur. Beberapa hari kemudian ia mendengar bahwa pertahanan kompeni di Balikpapan pun dijatuhkan. Begitu juga Pontianak dan Samarinda. "Ada apa ini?" Pikirnya. Ditambah lagi petinggi-petinggi Belanda pada saat itu di tarik ke kota Bandung.

Dari Andhini, ia mendengar bahwa ada kejadian besar di tanah air. Jepang telah menguasai Indonesia bagian utara dan kini sudah mendarat di Eretan Wetan (Jawa Barat) dan Subang sudah diduduki Jepang pada hari yang sama. Andhini berkata wajah para kompeni saat itu sangat tegang. Mereka sudah tidak lagi menjarah kebun atau melecehkan. Semua tentara dan pejabat tinggi kompeni di titik fokuskan di Kota Kembang, Bandung.

Suatu malam, suara tembakan terdengar sangat jelas. Suara itu terdengar dari sisi barat ruang tahanan. Tak lama kemudian ada dua orang berteriak dengan bahasa yang sangat asing. Mereka mendekati pintu dan membuka ruang tahanan. Bermata sipit, berkulit kuning, sebuah kain dengan gambar berbentuk matahari menghiasi bagian atas lengan sebelah kanan, serta membawa senapan, dan pedang kecil di pinggang sebelah kiri. Para orang asing itu berbincang dan lalu seorang dari mereka masuk ke ruang tahanan dan menutup pintu. Tak lama kemudian temannya masuk membawa sekotak senjata. Diberikannya senjata tersebut kepada Asep. Sambil memberi bahasa isyarat, ia meminta Asep membantu menghabisi kompeni yang tersisa. Asep berpikir mereka akan menjadi pahlawan bagi negeri ini. Maka Asep dan seluruh mantan pasukannya menyerbu kompeni habis-habisan.

Sejiwa : Sejalur dengan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang