Lilin kecil masih menyala di malam yang dingin. Saint Peterburg masih mencekam usai revolusi, kini tidak ada lagi Tsar di atas singgasana, hanya ada protelar yang kuasai istana. Semua orang adalah Tsar kecuali Elona, si gadis penjual lilin. Dia masih duduk di lorong sepi menyalakan lilin terakhir. Elona berdoa di bersama lilin dan korek api memohon perlindungan dari penguasa langit, semoga Maha Kudus mendengar kidung sendu si gadis fakir.
Dari selusin lilin putih yang di jual tersisa satu batang yang dipakai sendiri menghangatkan diri. Mantel merah lawasnya tak mampu menahan gigitan angin musim dingin. Matanya sayu ingin tidur, namun tertidur di luar sama saja menyetor maut, belum lagi rasa lapar menusuk lambung, hanya bola salju yang dapat dia makan sepanjang perjalanan. Tak ayal dia seperti mayat hidup di kota Saint Peterburg.
Perang membawa petaka, baik bangsawan maupun jelata. Salah satunya adalah Elona Evelina, anak dari petani yang harus menenteng senjata di medan perang melawan Kekaisaran Jerman. Perang pribadi yang memakan nyawa rakyatnya sendiri yang tengah krisis pangan. Sejak itu Elona dan ibunya mencoba peruntungan di ibukota menjual apa yang tersisa.
Nahas ibunya menjadi korban perang, sebutir timah panas menembus tengkorak belakangnya. Sendiri, kini gadis malang itu hidup sendiri bersama keranjang kayu. Kain tudung ungu yang menutup rambut blonda bergelombang jadi kenangan manis lagi pahit baginya. Apa yang Tuhan lakukan padanya? Apa maksud dari duka yang terus menghampiri? Bila Elona memikirkan semua itu, mungkin dia akan memilih kematian.
Nyatanya Elona memilih melawan badai, lebih baik berjuang dan berdoa di tengah badai dingin dan anarki pencari mimpi. Biarkan pintu-pintu itu tertutup baginya dan orang asing lainnya, juga rumah suci tak berani membuka gerbangnya meski sedikit, selama ada secerca keyakinan pada-Nya.
Tubuh kecil nan ringkih Elona kedinginan setelah berjalan menyusuri pemukiman, kian lama semakin sepi, penghuni di sana melarikan diri dari amuk petani yang terhasut revolusi, tuan tanah dan bangsawan pergi sejauh mungkin, sejauh kuda dan kendaraan mereka berlari. Mereka yang diusir revolusioner menjarah isi yang ada dalam lemari, dalam brankas besi, maupun apa yang didapati.
Elona yang malang, dia mulai kehabisan lilin terakhirnya. Dalam lorong Rumah Tuhan yang kosong dan rusak atapnya. Ia berdoa dan memohon ampun pada ayah ibu serta negeri yang sakit, entah apa doa darinya akan mengubah dunia yang pasti hanya itu yang bisa dia perbuat. Api kecil itu perlahan memudar dan padam tertiup dinginnya malam, gelap malam menyelimuti ruangan. Kini tubuhnya tak sanggup menahan dingin, dia tertidur dalam selimut salju.
***
Elona terbangun dari beku. Ia turun dari ranjang dalam keadaan telanjang, kebingungan menghampiri benaknya saat pertama kali melihat ruangan luas layaknya orang berada, semua serba putih dan hening, dalam batinnya bertanya, mungkinkah dia mati? Karena orang mati akan kembali suci dan murni, namun, apa mungkin di alam sana ada radio kayu yang menyala? Menyiarkan terjadi kerusuhan di tanah mati bernama Eropa?
Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka sesosok perempuan paruh baya berkerudung merah tua masuk membawa pakaian untuk Elona. Sontak gadis kecil itu kaget, dia mengambil selimut putih untuk menutup raganya.
"Maaf nona jika hamba mengagetkan anda, hamba membawakan pakaian untuk nona."
"Nona? Maaf sepertinya bibi salah orang, aku hanya orang biasa."
"Namun tidak biasa bila Tuan Murad membawa anda ke kediamannya, sebelumnya mohon maaf, bila hamba boleh tahu, siapa nama nona ?"
"Elona, Elona Evelina bibi."
"Baik Nona Elona, hamba akan menyiapkan sarapan untuk Nona. Sebelumnya bolehkan hamba memakaikan pakaian untuk nona?"
Perempuan bertubuh subur itu merentangkan baju untuknya. Gaun panjang berwarna putih dan kelabu di pakaikan pada gadis yang memiliki mata bening seperti zamrud dari India.
Pagi yang berbeda telah tiba, lukisan perempuan berpakaian indah karya Abdulcelil Levni terpampang jelas di tiap dinding. Elona merasa pasti pemilik rumah adalah orang terpandang, sepanjang pengamatan orang-orang yang bekerja berbicara dengan bahasa asing seperti bahasa Arab, Persia, dan Turki.
Perempuan tua itu menuntun Elona ke meja makan, sajian mewah tersaji dengan aromanya yang menggoda perut yang lapar. Tak lama dari ruang sebelah terdengar suara seorang pria dewasa mencari perempuan paruh baya itu. Pintu terbuka dan ia keluar dengan baju biru muda dengan rambut merah yang disisir ke belakang bertanya dimana rompi merahnya.
"Karina, dimana rompi merahku?
"Masih disiapkan tuan, sebentar lagi akan hamba antarkan."
"Hari ini aku mau ke kedutaan, tolong panggilkan jalil siapkan mobilku."
Pria gagah berkumis tebal menoleh ke arah Elona, baru kali ini dia melihat sosok penolongnya.
"Apa tuan..."
"Oh kau sudah bangun Nona kecil, Apa kau sudah pulih sedia kala? Oh iya kalau boleh tahu siapa namamu Nona?"
"Aku... Aku... Namaku Elona, dan Puji tuhan sekarang saya baik-baik saja tuan Murad.
"Alhamdulillah, sebentar kau darimana namaku?"
"Hamba yang memberitahukan tuan saat mengantarkan baju."
"Oh iya kau benar. Kau sudah makan Elona? Bila belum ikutlah bersamaku!"
Dia mengajaknya duduk di meja makan yang tidak berkursi, keduanya duduk bersila. Pria itu mengambil hummus* dan roti pita ke atas piring, sedang Elona mengambil roti pita Dan sepotong Kofte**.
"Tuan, terima kasih anda telah menolong hamba, namun sebelumnya maaf, bagaimana tuan bisa menemukanku padahal hamba ada di dalam gereja?"
"Aku melihatmu saat aku mencoba balon udaraku. Kau tertimbun salju. Lilin kecilmu memberi tanda bagiku untuk menolongmu."
"Namun hamba hanya seorang yatim piatu tuan, dan hamba tidak punya apa-apa untuk membalas kebaikan tuan."
"Setidaknya kau mebayarku dengan doa yang kau baca Elona."
"Tapi tuan, hamba seorang..."
"Seorang Nasrani? Bagiku selama engkau manusia, aku akan menolong siapa saja, karena aku juga pernah merasa terbuang."
"Maksud tuan?"
"Kau mengingatkanku saat aku terbuang di jalanan Istanbul. Membeku seperti papan kayu di dermaga, aku ingin membalas kebaikan seperti guruku padaku."
"Tuan juga pernah terbuang?"
"Dulu sekali, dan sampai saat ini aku masih terbuang oleh keadaan."
"Aku mohon maaf jika pertanyaanku membuatmu sedih."
"Tidak apa Elona, dunia ini memang tengah sakit, dan sebentar lagi aku akan mati atau terkurung sebagai pengkhianat. Aku bisa saja kabur, namun saat mendengarkan doamu yang begitu tulus dan ikhlas membuatku luluh."
"Luluh mengapa? Doa hamba tidaklah seistimewah yang tuan kira?"
"Justru kesederhanaanmu mengingatkan doa yang pernah diucapkan guruku dulu padaku. Doa disaat tak ada lagi harapan dan yang ada hanya mengingat sang penguasa semata. Tidak ada yang bisa aku perbuat selain meninggalkan kebaikan."
"Apa tuan akan menyerahkan diri?"
"Entahlah, saat ini aku hanya menunggu pesan dari negara asalku yang kini runtuh. Hanya keajaiban yang ingin aku lihat seperti aku melihatmu."
Seketika Elona terdiam, tanpa kata dan gerakan. Antara bersyukur, haru, dan bingung berkumpul jadi satu dalam benak gadis mungil tersebut. Pagi menjadi hening saat kedua insan tersebut saling bertukar derita satu sama lain. Entah sampai kapan, hanya waktu yang dapat bertutur semua.
Keterangan
*Hummus : salad khas Turki dari kacang Arab, perasan lemon, minyak zaitun, Lada dan garam.
**Kofte : steak berukuran kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setangkai Kisah Bunga Liar
Short StoryManusia memiliki banyak kisah. Kesedihan, kebahagiaan, amarah, hasrat, dan segala yang melekat padanya akan menjadi rangkaian cerita yang memiliki hikmah bernama pengalaman. Setiap orang pasti memiliki kisah, baik yang diceritakan atau disembunyikan...