"Kruuuk..."
Irfan sedang tiduran di kamar. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Tiba-tiba perutnya berbunyi minta jatah sip malam.
Irfan keluar menuju dapur tempat makanan bersarang. Tapi ia tidak menemukan apa-apa. Ia hanya menjumpai mie instan saja. Ia mendengar suara kaki melangkah menghampirinya. Lebih tepatnya menuju kulkas di depannya.
"Mama gak masak" suara Tina, mamanya Irfan, yang sedang mengambil minuman. Seperti peramal, belum juga nanya sudah dijawab. Mamanya Irfan ini orangnya to the point. Kalau ngomong singkat jelas padat.
"Tadi mama, papa sama kak Keira udah makan di cafenya tante riya" lanjut Tina.
"Kak Juan?" Irfan adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Mereka sama-sama berselisih dua tahun.
"Baru aja kesana"
"Kok gak ngajak aku?" Tina mengangkat bahunya sebagai jawaban karena mulutnya penuh dengan air.
"Yaudah mah, aku nyusul" pamit Irfan lalu ia mengambil kunci montor. Ia keluar hanya memakai celana jean panjang hitam dan kaos oblong putih polos.
Irfan baru saja sampai cafe. Cafe itu terletak di depan komplek perumahannya saja. Jadi tak butuh waktu lama untuk ia berada diatas motornya. Dan tak butuh waktu lama juga untuk menahan laparnya.
Hal yang pertama ia suguhi adalah pemandangan bidadari. Yang pasti membuat wajahnya berseri-seri. Tapi hanya sebentar saja. Setelah itu Irfan terlihat lesu. Dimana bidadari itu sedang mengobrol dengan seorang laki-laki. Irfan turun dari motornya dan berjalan ke arah dua orang tadi.
"Kak" Irfan menyapa Juan tak ikhlas.
Juan terkejut dengan kedatangan adiknya. "Ngapain lo kesini?"
Tak memperdulikan Juan, Irfan malah menoleh ke arah perempuan di depannya. "Hai fa" sapa Irfan pada bidadari tadi yaitu Zalfa. Tak lupa ia memberikan senyuman termanisnya.
"Hai fan" begitu juga dengan Zalfa yang membalas dengan senyuman tercantiknya.
Juan cengoh dengan Irfan yang tak menjawabnya. "Ehm. Serak nih tenggorokan gue. Mau pesen minum ah. Permisi ya" pamit Juan diiringi ejekan di dalamnya.
"Apaansih gak jelas banget" teriak Irfan ketika Juan sudah mulai masuk. Zalfa terkekeh.
Tak mau dirasa canggung, Zalfa memutuskan untuk bersuara terlebih dahulu. "Lo ngapain kesini?" Tanya Zalfa. "Gue tau jawabannya. Lo pasti mau makan kan. Ya kan" tanya sendiri jawab sendiri. Itulah Zalfa. Dia itu lucu.
"Hahaha iya. Tau aja" balas Irfan dengan tawa.
"Iyalah lo kan datang ke Cafe ya pasti makan. Kalau ke WC ya pup" cecar Zalfa ceplas-ceplos apa adanya.
"Hahaha iyalah. Kalau gue datang ke rumah lo ya gue ngelamar elo" kata Irfan sambil ngelus kepala Zalfa.
Seketika Zalfa speechless dan malu. Ia blushing akibat ulah Irfan barusan. "Apaan sih lo fan. Gaje" Irfan menanggapi dengan kekehan saja. Ia senang jika menggoda Zalfa temannya dari SD ini.
Itulah mereka, Irfan dan Zalfa. Jika di luar sekolah mereka akan terlihat dekat. Tetapi jika sudah disekolah mereka biasa saja layaknya sebuah teman. Biasa.
"Masuk sana. Katanya lapar" usir Zalfa yang mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Temenin yuk fa" pinta Irfan.
"Itu kan ada kak Juan. Lagian di dalem juga ramai kali. Gitu aja takut" alasan yang gak masuk akal dan tak berfaedah.
"Bukannya takut setan. Gue takut kalau gak ada lo disamping gue" lagi-lagi Irfan menggombali Zalfa.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAPAN
Teen Fiction"Gue tabok pake PAPAN juga lo. Ya gak fa?" "PAPAN" "PAPAN" Begitulah ejekan dari teman temanya. Yang diejek pun pastinya tak terima. Bukan karena badannya langsing terus diejek sebagai papan kayu. Atau orangnya yang tahan banting. Bukan. Tapi PAPAN...