Rencana

28 7 0
                                    

Diskusi malam ini membuat kepala Sephia terasa berdenyut. Ia tidak tahan mendengar ocehan dua manusia tua yang sedari tadi menatapnya sinis.

"Pria berengsek itu pergi tanpa kabar!" ucap Ayah bengis.

"No!" sela Sephia. "Dia tidak berengsek. Tapi su-per berengsek. Lalu bukan hanya dia yang berengsek, tapi seluruh keluarganya. Seakan habis dimakan monster, keluarga itu tiba-tiba lenyap dari muka bumi ini."

"Itu salahmu memacari pria semacam itu!" bentak Ayahnya.

"Begitu? Bukankah Ayah dulu begitu senang aku berpacaran dengan pria kaya?" bela Sephia.

Tiba-tiba Ibu menggebrak meja. "Simpan ocehan kalian. Dan kau!" sembari menunjuk Sephia, "kau seharusnya bisa menjaga diri. Kau ju-"

"Aku punya nama bu." sela Sephia.

Ibu menghela napas. Matanya menatap tajam Shepia, lalu berpaling seketika. "Rasanya terlalu sakit."

"Apa?" tanya Sephia pelan.

"Seharusnya aku tidak membiarkan kau tumbuh bersama pria ini. Rasanya menyakitkan melihat kau seperti ini, aku merasa gagal menjadi ibu." ucap Ibu tanpa melihat Sephia. Perlahan, air mata Ibu meleleh.

Sephia terkejut. Dia belum pernah ditangisi oleh seseorang, apalagi Ibu sampai menyalahkan dirinya. Ayahnya, ataupun orang-orang di sekelilingnya selalu menyalahkannya, tak pernah memandang Sephia dengan benar.

"Apa yang harus aku lakukan ya Tuhan, kau akan menikah dengan siapa." ucap Ibu lirih.

"Kau akan berhenti sekolah?" tiba-tiba pertanyaan itu muncul dari orang di sampingnya, Shopie.

"Kau pikir aku akan sekolah dengan keadaan begini?"

"Tidak. Kau harus lulus SMA, tinggal setahun lagi."

"Kau gila?"

"Ya, mungkin ini terdengar gila." "Begini.." ucap Shopie dengan gugup.

Semua memasang kuping. Sephia benar-benar penasaran, orang seperti apa kembarannya ini.

"Aku punya kekasih, dia berusia 25 tahun. Aku sangat mencintainya, begitupun dia. Kupikir dia akan mau menikahiku." jelasnya.

"Menikahimu?" ulang Ibu.

"Ya, dan Sephia akan tetap sekolah." lanjut Shopie.

"Kita bertukar posisi maksudmu?" tebak Sephia.

Shopie mengangguk pelan.

"Tidak sayang!" sergah Ibu. "Kau juga harus kuliah, dan apa jadinya jika kau menikah dengannya dalam keadaan hamil?"

Sophie menghela napas. "Ku pikir dia akan percaya jika itu anaknya." "maaf bu," tambah Shopie.

"Jadi kau?" ibu menutup mulutnya, matanya membulat tidak percaya. "Kau-"

"Ide bagus." potong Ayah. "Dia tidak tahu kau memiliki kembaran bukan?"

"Aku sendiri bahkan tidak tahu." jawab Shopie.

"Tidak!" bentak Ibu. "Aku tidak akan menyetujui rencana seperti ini."

"Ku pikir itu juga cukup beresiko." ucap Sephia pelan.

Sephia benar-benar tak habis pikir. Bagaimana bisa Shopie mengorbankan dirinya demi sodara antahberantah yang baru saja muncul di hidupnya. Lagi pula, pasti rasanya menyakitkan untuk membiarkan Sephia hidup bersama kekasihnya meskipun hanya sementara.

"Ibu, ini hanya sementara." ucap Shopie. " Hanya sampai Sephia lulus, dan melahirkan."

"Setelah itu aku akan kembali ke posisiku sebagai istri kak Romi. Dan aku bisa melanjutkan kuliah."

Alis Sephia berkerut. "Lalu anak-"

"Aku yang akan menjaganya." potong Shopie.

Ibu menangis mendengar penjelasan Shopie.

"Ibu," panggil Shopie. "Sephia putrimu juga."

Ibu malah semakin menangis. "Bagaimana jika dia tahu?" lirih Ibunya.

Kepala Shopie memiring. "Kak Romi? Kupikir dia akan mengerti."

"Tidak ada salahnya bukan kita mencobanya?" tanya Shopie.

"Ya." jawab Ayah.

"Bagaimana menurutmu Sephia?" tanya Shopie.

Dalam hati Sephia mengutuk kembarannya itu. "Ya."

MelodistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang