They Are Mourning

1.2K 56 25
                                    

  Pemuda itu berjalan di tengah cahaya yang begitu terang benderang lagi meyilaukan. Tubuhnya terasa begitu ringan dan begitu menyenangkan untuk digerakkan. Luffy melangkah secara perlahan, menyaksikan ke seluruh penjuru di mana dirinya berada. Pemuda yang kini memperoleh gelar Raja bajak laut itu tersandung secara tiba-tiba, terjatuh di atas hidungnya. Dia meringkih kesakitan, memegangi hidungnya yang memerah. Luffy lalu menolehkan wajah ke belakang, melihat akar pohon yang mencuat dari dalam tanah; yang rupanya penyebab si bocah itu tersungkur. Menggaruk dadanya yang memiliki bekas luka luar biasa besar, di susul menggaruk kepala—benar-benar blank dengan situasi, Luffy berdiri dan melanjutkan jalannya.

"Haloooo!" sorak Luffy. Dia terus celingak celinguk ke sekelilingnya seperti anak kecil yang kehilangan ibunya di taman bermain. "Ada makanan di sini?" lanjut teriaknya. Dia kemudian berhenti tiba-tiba, memiringkan kepala dan memangkukan dagu pada tangannya berpikir tanpa juntrungan. "Loh... ada makanan di sini...? Atau ada daging di sini? Yang mana yang benar, ya?"

Dibuat bingung, Luffy mengangkat bahunya dan kembali melangkah ke depan. Namun bahkan mana arah depan pun dia tidak tahu secara jelas. Dia hanya berjalan ke mana mukanya menghadap, dan di sinilah dia berhenti.

Kabut putih menyilaukan di sekitar Luffy tiba-tiba sedikit demi sedikit menipis. Embun yang penuh dengan kadar air itu mencair di wajah Luffy. Si pemuda menjulurkan lidahnya, dan merasakan tiap cairan yang dapat diterima lidahnya. "...Hwaus... (haus)"

Luffy kemudian menatap kakinya, mendengarkan gesekan yang sudah sangat familiar di telinganya. "Rumput?" Kaki Luffy nampak menginjak tumpukan rumput yang seperti biasanya dijumpai di lapangan-lapangan luas. Dengan semakin cepatnya kabut embun tersebut memudar, Luffy menyadari seonggok pohon yang tumbuh tinggi di sebelahnya. Menjuntai tinggi ke langit berawan, Luffy mendongakkan kepalanya menghadap ke atas sana. "Tingginya!"

Telinga Luffy kembali mendapatkan sense-nya yang normal. Mengalihkan wajah dari puncak pohon di atas sana, Luffy kembali berjalan beberapa langkah sehingga bertemu dengan aliran sungai yang sangat jernih. "Air!" sorak si bocah, berlari ke tengah sungai dan mengambil beberapa tampung air dengan kedua telapaknya.

Tersenyum dengan riang, dia melanjutkan pencariannya. Hanya beberapa kaki Luffy berjalan setelah itu, perutnya berbunyi dengan liar tak bisa terkendali. Ayam-ayam di perutnya nampaknya sudah sangat kelaparan sekali sekarang. Dia memegangi perutnya, dan merengek minta makan. "Lapaaar... Sanji, Meshi-Meshi. Dagiiing..."

Sunyi senyap, tak ada yang membalas rintihan Luffy—baik mulut dan perutnya. Luffy memutar-mutarkan pandangannya, ke kiri, ke kanan, ke belakang, dan kembali ke depan. "Sanji? Zoro, Usopp...!" soraknya, semakin kencang. "Hei, kalian dimana Chopper, Robin! Franky, Brook...! NAMI!!"

Barulah insting Luffy sepenuhnya kembali. Ekspresinya nampak kelabakan, dan penuh dengan keringat dingin. Luffy berlari berputar-putar di tempatnya berdiri, tak bisa tenang. Semakin panik, Luffy meremas rambutnya dengan satu tangan. Di susul dengan satu tangan lagi, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. "Hei! Kalian dimana, teman-teman!" teriak Luffy semakin keras.

"Jawab aku!" jeritnya.

Tubuhnya membeku, kelelahan. Kepalanya tertunduk, tertunduk lemah menatap kakinya. Jangan lagi, batinnya merintih. Luffy menggeleng dengan kencang, dan lalu mengencangkan kepalan tangannya. "Jangan. Jangan ada yang berpisah lagi..." gumamnya, pelan seperti berbisik. "Jangan ada yang berpisah lagi!" lanjut teriaknya, kembali mendongakkan kepala ke langit yang tertutup awan putih nan tebal.

Luffy terus menatap langit di atasnya, menggeram penuh amarah. "Kemana mereka?" tanyanya dengan suara berat. "Kembalikan mereka semua! Sahabat-sahabatku!"

Badannya semakin melemas, Luffy tidak bisa mempertahankan keseimbangannya. Luffy terduduk di atas tanah dengan keras, terus menatap ke langit. "Aku... aku..." Tubuhnya semakin lemas, dengan semakin beratnya perasaan penuh dengan tekanan yang seolah menghimpitnya ini. "Aku... sudah letih... aku sudah lelah... kehilangan orang-orang yang kusayangi..." gumamnya, seraya berbaring di atas tanah serasa dipaksa. "...Hanya mereka... merekalah satu-satunya... yang... aku tak ingin kehilangan lagi... mereka... ha... nya... mere...ka..."

Luffy tertidur kehilangan kesadarannya. Keringat peluh membasahi seluruh tubuhnya yang melemah. Alis matanya mengerut seperti mangalami mimpi yang paling buruk. Mimpi terburuk dari yang terburuk.

Monkey D. Luffy apa yang paling ditakutkannya adalah Kehilangan rekan-rekan sekaligus sahabat-sahabatnya di atas kapal mereka yang sudah meraih impian masing-masing, dan bersumpah satu sama lain untuk saling jaga sekarang dan untuk selamanya. Tak ingin berpisah, tak ingin kehilangan.

Manusia boleh bermimpi. Dengan berusaha, mereka mendapatkan impiannya. Tapi, bagaimana apabila mereka sudah tak dapat berusaha, merundung di atas kasur kematiannya, menunggu dijemput oleh yang ber-hak.

Luffy berpisah. Dia akan berpisah dengan sahabat-sahabat sehidup sematinya. Bukan mereka... tapi dia.

Monkey D. Luffy si topi jerami sang raja bajak laut putra Dragon dan cucu dari Garp sang pahlawan, menghembuskan napas terakhirnya.

Luffy telah meninggal dunia.

Kesadarannya memudar dan menghilang. Yang tersisa hanyalah memori yang telah dia ukir bersama mereka semua yang tercinta. Suara jerit tangis mereka membahana di telinga si pemuda, mengalirkan derai tangis yang tak tertahankan. Luffy semakin jauh terjatuh ke dalam kegelapan tanpa pegangan. Tak berdaya, ini pertama kalinya Luffy tidak dipersilahkan; tidak bisa melakukan apapun. Pekat sekali... kegelapan ini.

XXX

Tak ada satu kru pun yang mengeluarkan suara di ruangan dokter. Semua terdiam, terkejut oleh pernyataan dokter mereka. Sebenarnya tidak perlu repot-repot. Alat pendeteksi denyut jantung milik Chopper sudah menandakan satu garis lurus tanpa detakan, yang berarti si pasien sudah berpulang. Tubuh mereka semua membeku; kesemutan dan meradang. Seperti tersihir, dan beku di bawah lautan arktik, tak satupun dari mereka bisa menangkap dengan cepat situasi yang mereka alami saat ini dan otomatis—yang harus mereka terima.

Chopper si dokter membanjiri wajahnya dengan air mata. Tidak terhentikan. Si dokter kecil ini memang tidak bisa menahan air matanya. Sedari dia merawat dan mengoperasi berusaha mengejutkan jantung si pasien berulang-ulang agar kembali pada denyutnya, Chopper terus-terusan mengalirkan isi dari kelenjar air matanya tersebut. Dia terisak-isak, menahan ingus yang sudah menetes dari kedua hidung birunya. "...Luffy..."

Nami melangkah maju. Kedua batang kakinya yang begitu mulus dan tertutup celana jeans hitam gemetar dengan hebat, luar biasa hebat. Dia tidak mau dan tidak bisa menerima apa yang dikatakan dokternya belum lama ini. dia hanya... tidak ingin menerimanya, dengan alasan apapun. "LUFFY" teriak nami.

The DiseaseWhere stories live. Discover now