Mulmed : Cesa***
Elcesa's
"MAMPUS! CESA TELAT!"
Aku langsung melempar jam weker asal dan segera melompat turun dari ranjang. Bahkan jika kakiku bisa sekuat kuda dan selincah jaguar, aku pasti sudah akan langsung mendarat di lantai kamar mandi yang berjarak beberapa meter dari ranjang dengan tarikan gravitasi terkuat itu.
Aku memakai dasi asal sambil tergesa menuruni tangga, dan langsung menyomot roti di meja makan yang tentu saja diiringi dengan decakan Mama.
"Udah tahu hari ini pertama masuk sekolah, masih aja sempet-sempetnya tadi malam begadang nonton tv."
Aku hanya nyengir dengan roti di mulut, tanganku bergerak cepat memakai sepatu yang entah bagaimana terasa sempit saja padahal baru saja dibeli. Apa sekarang ketergesaan bisa mengecilkan ukuran benda, ya?
"Ya gimana lagi acaranya bagus, sih, Ma—oh, iya," Aku berhenti sejenak untuk meneguk susu putih yang sudah disiapkan Mama di meja makan, "Nanti Cesa nggak usah dijemput. Cesa pulang bareng Riani aja."
"Riani..., Riani teman SMP-mu yang sering kesini itu?" Papa bertanya setelah menutup koran paginya
Aku mengangguk dengan masih meneguk cepat susu ini hingga tandas, "Riani sekelas sama Cesa!"
Mama membalikkan tubuh dari pantry, kini berjalan mendekati kami, "Ya bagus dong, kamu udah dapat teman."
"Iya dong, daaan, sekaligus teman sebangku! Hahaha—Wih," Mataku membelalak karena melihat kotak makanan yang disiapkan Mama untuk Papa, "Papa tumben-tumbenan bawa bekal. Kirain itu buat Cesa, huft."
Papa terkekeh, bangkit berdiri dan merapihkan kembali tatanan dasi serta jas kerja-nya, "Jaman sekarang harus pintar-pintar berhemat, Ca. Biar bisa investasi buat masa depan."
"Iya deh, Pa, iya." Aku bergumam sambil menyalami tangan Mama.
"Nanti buat kamu juga. Ya kan, Pa?"
"Iya dong!"
Setelahnya, kami pun bergegas. Rutinitas pagi ini diakhiri dengan Mama yang melepas kepergian kami dengan lambaian tangan di teras depan. Mobil Papa merayap mulus di jalanan kota yang ramai, membelah kesibukan kota yang telah menyeruak. Papa mengendarai mobilnya dengan kecepatan pembalap, aku takut-takut menatap jalanan di depan dan hal itu hanya mengundang tawa geli dari Papa. Karena sibuk dengan ketakutanku sendiri, hingga baru saja kusadari bahwa di sepanjang jalanan ini, ternyata mobil Papa terus salip-salipan dengan sebuah motor cowok hitam yang sepertinya juga anak SMA.
"Wah, anak ini nantang Papa kayaknya," kata Papa sambil terkekeh setelah motor itu berhasil melewati kami untuk yang kesekian kalinya.
"Oke, Ca, siap-siap, ya. Kecepatan penuh!"
Seketika aku istighfar dan memeluk erat-erat tas sekolahku, mataku terpejam dan telingaku seringkali mendengar umpatan dan kekehan Papa.
Ya Tuhan, Ya Tuhan, tolong persilakan kami selamat sampai tujuan kali ini, Cesa mau ketemu Kak Elang-nya Cesa. Eh, salah, maksud Cesa, Cesa mau sekolah. Huaaa.
"Hm, kalah kan, berani-beraninya sih ngelawan Papa."
Merasakan gerak mobil yang melambat dan lambat laun berhenti, aku pun memberanikan diri membuka mata, dan gedung sekolah yang kuidamkan sejak masih berseragam putih-biru telah tampak berdiri gagah di depan mata.
"Payah kamu, Ca. Masa nggak merhatiin aksi Papa tadi, padahal seru loh!"
Mendengarnya, aku mendengus dan membuka asal seatbelt yang menjagaku untuk tetap hidup—setidaknya, hanya jantungku yang tersisa masih hidup walau nyaris saja mati rasa seperti organku yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lov(#E)rdoshits
Teen Fiction"You know I wouldn't walk away, even if I could." --- Tentang, bagaimana cara takdir mempermainkan kisah mereka. Tentang dia yang mengejar, suatu saat akan merasakan dikejar pula. Juga, status seorang secret admirer akan bisa berubah jika dewa cinta...