1. Salwa

30.7K 610 22
                                    

Bismillah... 

happy reading ya semua!

***

Sudah puluhan kali aku izin keluar kantor, berangkat lebih siang, pulang lebih sore. Sepertinya aku punya aturan kerja sendiri. Ya, begitulah karena aku anak Papi, pemilik perusahaan tempat aku bekerja. Bukan berarti aku tidak bisa professional dalam urusan kerja. Semua pekerjaan aku bereskan dengan baik. Aku punya tanggung jawab dan aku bisa mengatasi semua itu. Hanya saja masalah waktu, aku tidak suka delapan jam duduk di belakang meja kerja dan hanya memelototi benda-benda tidak bergerak, menatap layar monitor sampai tidak berkedip, mengecek dan menandatangani tupukan berkas. Aku bosan suasana kantor.

Aku tidak suka terkurung dalam ruangan bersuhu dingin, sepi, teratur dan rapi. Telingaku bahkan enggan untuk mendengar suara langkah kaki orang lalu lalang di kantor, suara klik-klik mouse, suara tuts keyboard, apalagi suara sepatu hak perempuan yang hampir setiap hari menceramahiku, Tante Mely. Dia adik Papi, senior manager di kantor. Dan setiap hari dia hampir tidak pernah berhenti membaweliku soal kabur di jam kerja. Katanya aku sudah memberi contoh tidak baik pada bawahan. Terserah, siapa suruh memasukkanku ke sini, aku tidak sepenuhnya tertarik.

Lupakan malasah kantor, aku ingin sejenak melepas rindu bersama teman-teman semasa kuliah. Aku kangen panti, kangen kajian di kampus, dan kangen seminar yang menambah wawasan berpikir. Rasanya dunia terlalu cepat bergerak dan waktu tak mungkin berjalan mundur. Umurku tidak tergolong remaja lagi, aku sudah hampir 23 tahun.

"Empat, campur, nggak pake lama!" Selli teriak pada Mang Ucup, penjual bakso langganan kami saat masih kuliah dulu. Sampai saat ini kami masih sering nongkrong di sini, tempat makan dekat kampus. Suasananya ramai, maklum pinggir jalan raya. Di sini kami bisa mendiskusikan apapun, mulai dari hal sepele sampai serius, dari salon langganan Selli sampai kajian yang sering di kunjungi Hana, dan juga cowok-cowok yang menjadi target Arnet di kantor barunya.

Mataku menyapu pemandangan lain. Kulihat ada beberapa anak jalanan yang lalu lalang, keluar masuk warung-warung makan pinggir jalan dan juga cafe kecil sebelahnya. Mereka membawa botol bekas yang di isi batu kerikil sebagai pengiring lagu saat sedang beraksi, mereka bernyanyi lalu menagih untuk di beri rupiah.

Jakarta, masih ada anak-anak semacam itu. Benar, tidak semua orang berdasi yang tinggal di kota sebesar ini, bukan?

Ya Robb... hatiku berkali-kali trenyuh melihat pemandangan itu. Kadang kalau mereka sampai ke tempat tongkrongan kami, aku bertanya pada mereka secara langsung. Penasaran tentang keberadaan orangtuanya yang sudah seharusnya memberinya nafkah, atau bertanya mengapa mereka tidak sekolah? atau hal-hal lain yang membuatku ingin tahu.

Bukannya menjawab, mereka malah lari. Kadang tidak ada respon sama sekali, mereka malah memaksa untuk segera di beri. Mereka rata-rata adalah anak-anak di bawah umur.

"Heh! Ngelamun aja. Bakso udah dateng. Hmmm... wangi." Arnet yang duduk di sampingku membaui kuah baksonya.

"Aku kangen baksos di jalan, buka bersama di panti dan kajian UKM kampus." Kataku jujur.

"Sama. Aku sibuk kerja sekarang. Duh, Tuhan... rasanya aku durhaka sekali sampai lupa mengabari ibu dan bapak!" sambar Arnet.

Hana mengangguk. "Panti, tempat itu selalu buat aku tergugah. Banyak bersyukur karena masih punya orangtua yang lengkap."

Obrolan masih berlanjut disamping kami menikmati bakso Mang Ucup.

"Yah.. aku harus balik kerja! Boss bisa ngamuk besar kalau dia tahu aku nggak di tempat. Bye, guys." Selli sudah melahap baksonya habis. Kini dia berlari menuju jembatan penyebrangan. Kebetulan kantor tempat dia bekerja di dekat kampus. Aku menatap Arnet yang juga bersiap-siap untuk pergi, padahal dia adalah marketing yang bisa sepuasnya berada di luar kantor. Belakangan Arnet menyukai rekan satu kantor, itu jadi sebab dia betah berlama-lama di kantor yang super membosankan.

Cahaya Cinta Semesta [Pindah ke Dreame]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang