2. Perjodohan

11.6K 444 3
                                    


Serentetan ocehan, wejangan atau apalah itu sudah aku lahap malam ini. Makan malam spesialnya gagal. Tema meja makan kali ini adalah aku. Aku yang keluar kantor tanpa bilang dulu ke Papi atau Mami, aku yang kena jambret dan juga Jeepku yang harus di urus oleh anak buahnya Papi besok.

"Kamu itu bandel banget sih, Salwa. Mami pusing mikirin hal aneh apa lagi yang bakal kamu lakuin. Berhenti bikin Mami stress!"

Dengan mendengar Mami begitu pun aku sudah ikutan stress!

"Pokoknya besok kamu ikut mobil Papi, selama seminggu. Nggak boleh nolak. Dan kalau mau kabur tolong harus di supirin sama Si Anu... siapa ya namanya?"

Dan ya, Mami sering lupa nama sopirnya sendiri. Itulah akibatnya jika sering gonta-ganti sopir, lagipula mana ada sopir yang betah sama omelan Mami.

"Agung, Mi." Yasmin akhirnya angkat suara. Hanya dia yang diam selama aku bermasalah, dia tidak akan ikut campur selama aku masih baik-baik saja.

"Ya, Si Agung itu yang akan anter kamu nanti." Mami kembali menyendok makanannya. Aku menatap Mami sekali lagi, kulihat rambutnya sudah di cat warna lain padahal baru bulan lalu Mami mengecat rambut. Mami selalu melakukan pemborosan, jika dugaanku benar, pasti demi sebuah makan malam ini Mami melakukan perawatan khusus di salon seharian. Akan aku cari tahu lewat Mbok Ratih, yang selalu setia jadi mata-mata pribadiku di rumah ini.

Papi berdeham sekali. Kami terpusat padanya. Beliau mengelap mulut yang sama sekali tidak kotor. Garis-garis halus di wajahnya semakin sulit di sembuyinkan, ada banyak keriput yang mulai bermunculan dengan sebab bertambah usia. Papi terlihat lebih tua dari Mami, karena jelas—Papi tidak pernah ke salon apalagi perawatan. Papi tidak suka hal begituan.

"Jadi koas Yasmin tinggal satu tahun lagi?" Papi menatap Yasmin dengan gamblang. Ada gurat senang di sana meskipun jika dikorek lebih dalam Papi nampak kecewa dengan pilihan Yasmin menjadi seorang dokter. Sebenarnya Papi ingin aku dan Yaskin bersama-sama bekerja di kantor yang bergerak di bidang tour & travel.

Yasmin mengangguk, ia tersenyum bahagia. Aku pun ikut senang jika dia begitu. Aku selalu mendukungnya seperti dia yang selalu ada di balik punggungku. Aku selalu ada untuknya dan dia pun begitu. Katanya aku dan dia adalah kembar, tapi sampai detik ini aku tidak pernah percaya. Ada banyak kejanggalan jika kami memang kembar. Tunggu, dimana letak kemiripanku dengan Yasmin?

Nama kami mamang sengaja di bedakan, katanya karena sejak lahir wajah kami memang beda. Dan kami merasa tidak pernah ada kemiripan apapun selain kami sama-sama terlahir sebagai perempuan. Selanjutnya, ini yang akan membuat kalian lebih shock, aku dan keluarga ini berbeda haluan. Maksudnya, keyakinan. Aku memang pernah ke Gereja bersama Yasmin, tapi sejak masuk SMP aku malah memilih sekolah yang mayoritas muslim, sementara Yasmin tetap di sekolah Kristen. Mereka memisahkan kami hingga SMA kami memutuskan untuk satu sekolah lagi. Terbukti dengan aku di masukan ke sekolah mayoritas muslim akhirnya aku memeluk agama dengan penganut terbanyak di Indonesia dan dunia. Aku bangga meskipun aku berbeda dengan Mami, Papi dan Yasmin.

Sewaktu duduk di bangku SD, keyakinanku masih bimbang. Maaf, kadang aku ikut keluarga ke Gereja, kadang juga ikut Mbok Ratih ke pengajian di sebuah Masjid dekat komplek.

Kepada Yasmin, seharusnya aku memanggil dia Kak, dia menolak karena tidak mau terlihat lebih tua. Lagi pula kami kan lahir di hari yang sama.

"Eh, calon dokter muda. Udah ada cowok yang ngelirik belum?" ledekku ketika membajak ranjang empuk Yasmin. Dia sedang duduk di dekat jendela sambil menyesap cokelat hangat buatan Bi Sani. Di rumah ini ada tiga pembantu perempuan, dua sopir, dua sekuriti dan seorang anak SMA bernama Yahya, anak angkat Mbok Ratih.

Cahaya Cinta Semesta [Pindah ke Dreame]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang