Tatkala menatap Jungkook; Jimin tahu sebagaimana waktu tidak pernah mengubah lelaki itu. Jungkook tetap sama, seperti ingatannya, seperti saat ia masih belia. Tentang kecantikan yang tidak dapat digambarkan, tentang keindahan yang tidak mampu dilukiskan dan tentang perasaan-perasaan yang tidak mampu Jimin ungkapkan.
Pada lazuardi yang menua, netra Jimin memindai bagaimana indah Jungkook di depannya. Ia masih sama, kerap menggunakan kaus putih kebesaran dan senyum kkelinci yang manis. Menikmati mentari yang perlahan merebahkan diri di garis laut yang memanjang jauh tidak tersentuh. Sama indahnya dengan Jungkook; sama indahnya dengan waktu yang terus beranjak.
"Jungkook-ah,"
Jungkook sibuk menikmati senja, mengisyaratkan Jimin untuk diam. Satu lengan dilingkarkan di pinggang Jimin, membiarkan diri bersandar penuh pada lelaki itu. Jungkook tidak keberatan, dengan Jimin yang mengulang ucap rindu dengan kecupan di sepanjang tengkuk.
"Jimin, rindu."
Jungkook merajuk, dan Jimin tersenyum. Pada senja mereka banyak bercerita, tentang hari-hari berat dan melelahkan, serta kerinduan yang tidak terbatas. Tentang cincin putih yang melingkari jari manis Jungkook—pada senja di lain waktu, Jungkook sudah resmi menjadi semesta Jimin.
Ada senja yang dicintai Jimin; begitupula ada Jimin yang dicintai Jungkook.
"Aku juga rindu, Jungkook-ah."
Sebagaimana lengan Jimin memeluk lebih erat, dan ciuman tipis menutup senja yang kembali bercerita tentang manisnya cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Nirwana [JiKook//KookMin]
NouvellesPada peraduan senja; aku banyak bercerita tentang kita. Ficlet. Drabbles. Ficsong. Kumpulan aksara pada masanya.