Sejak awal, bertemu dengan Damian Voltaire merupakan sebuah tragedi dalam hidup Irina Gustav. Tetapi kemudian, tragedi itu seolah berubah menjadi takdir. Dan harusnya Irina tahu, tidak ada kesialan semacam tragedi yang akan berubah jadi keberuntunga...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Zinggg.
Suara desingan pedang yang baru saja ditarik dari sarungnya terdengar begitu nyaring. Pedang tajam yang tak pernah gagal membunuh targetnya.
"Aku minta maaf."
"Maaf. Maafkan aku."
Lelaki itu tetap tak bergeming setelah mendengarkan permohonan dari sasarannya saat ini. Pedang tajam itu tetap teracung ke arah targetnya yang sontak langsung menyesali semua dosa-dosanya.
Tetapi bahkan sujud dan jatuh sungkur dari makhluk yang sudah tak berdaya itu pun tak menimbulkan keraguan di dalam hatinya. Hati yang sejak awal memang tidak dapat merasakan apa-apa. Terlebih belas kasih.
"Itu bukan salahku, kumohon, dengarkan aku," terkaing-kaing ia memohon pengampunan. Dan selama mengenalnya, baru kali ini ia terlihat sebegitu menyedihkan. Pasrah dan tak berdaya. "Damian, kumohon.... Itu bukan salahku."
Damian, itulah nama lelaki yang sedang mengacungkan pedangnya. Tatapan dingin nan tajam, berbanding terbalik dengan tatapan si pemohon. Damian, sosok yang kuat dan begitu totalitas dalam membunuh hingga takkan ada yang meragukan maupun menanyakan nasib dari orang-orang yang sudah ada di dalam daftar hitamnya. Mereka semua pasti tidak akan selamat. Entah dengan atau tanpa jejak, siapapun korbannya pasti sudah bernasib buruk.
Sejak awal, mereka berdua memang dua kepribadian yang jauh bertolak belakang.
"Aku berjanji, aku akan membayar semuanya. Tapi jangan bunuh aku."
Damian menekankan pedangnya pada leher sasarannya, menimbulkan luka yang sangat menyakitkan. Dan teriakan kesakitan itu terdengar begitu memilukan.
"Damian—!" Ia merasa tak berdaya, bahkan bicara pun sudah tak sanggup dengan siksaan yang diberikan Damian.
Begitu ia pasrah akan kematian yang akan menjemputnya dalam wujud Damian, nasibnya berkata lain.
Pedang itu diturunkan dan kembali ke tempatnya disimpan. Dua sosok itu tampak sangat kontras. Yang satu bersujud dengan keputus-asaan dan yang satunya berdiri menjulang dengan semua kekuasaan.
"Pergi," perintahnya dingin. "Aku mau kau pergi dan jangan pernah menunjukkan wajahmu di hadapanku lagi."
Dengan masih menahan rasa sakit dan perih, ia langsung berdiri terburu-buru, "Terima kasih... terima kasih, Damian. Aku janji aku akan pergi sejauh mungkin. Aku takkan mengganggumu lagi jika memang itu yang kau inginkan."
Damian tak menjawab, seolah harusnya jelas apapun yang ia katakan melalui matanya.
"Aku pergi sekarang," ia berbalik dan bersiap untuk menghilang secepatnya ketika ia kembali mendengar ancaman dari Damian.
"Sekali saja aku melihatmu ada di hadapanku, aku akan menghabisimu detik itu juga."
Ia mengangguk dan tak menunggu lama untuknya menghilang dari pandangan si predator. Ia bertekad akan membalaskan hari ini.
Hari dimana ia kehilangan kepercayaan orang yang ia pikir akan selalu ada di sisinya. Hari dimana ia kehilangan segalanya, harga diri, posisi, dan kehormatan di matanya.
•••
"Kau harus beri tahu ia kebenarannya!"
"Berapa kali harus kukatakan, itu bukan hal yang bisa kau putuskan."
"Lalu hal macam apa yang bisa aku putuskan, Damian? Katakan!" jeritku frustasi. "Karena sejauh yang aku tahu, kau tak pernah memberiku hak untuk memutuskan ataupun memilih apa yang mau aku lakukan! Kau selalu jadikan semua yang aku lakukan sebagai pemberontakan! Itu semua gara-gara kau. Dan salah kau!"
Tatapan tajamnya tak lagi membuatku gentar. Aku benci lelaki ini.
"Berhenti berteriak atau--"
"Kau akan remukkan tenggorokanku?" Aku terbahak. "Persetan denganmu!"
Damian meninju kaca di belakangku dengan begitu keras. Refleks, aku pun langsung memalingkan pandanganku.
Prankkk!!
Kaca itu pecah dan serpihannya menyebar kemana-mana.
Aku kembali menatapnya, "Kau memukul kaca itu, Damian?" aku mengambil tangannya yang terluka parah dan darahnya jatuh menetes di mana-mana, "Kenapa kau tak pukul saja aku sekalian?"
Dapat kulihat napasnya yang tengah memburu, tanda kemarahan yang tak tertahankan kepadaku.
"Lebih baik kau pukul aku sekarang sebelum aku yang akan memukulmu dengan kenyataan," desisku marah.
Cukup sudah, harga diriku benar-benar terluka ketika ia memukul kaca itu hanya untuk menunjukkan ia begitu jauh berkuasa di atasku. Dan seolah apapun yang ia putuskan adalah harga mati untukku. Tidak. Aku takkan menerimanya begitu saja.
Aku mendekat padanya, begitu dekat hingga nyaris tak ada jarak yang tersisa di antara kami berdua, "Kali ini, aku takkan menutup mulutku seperti yang sudah-sudah, Damian," desisku. "Kau beri tahu ia, atau aku yang akan lakukan."
Damian mencengkram lenganku dengan marah, "Aku akan memukulmu jika kau tak berhenti memprovokasiku, Irina. Kau tahu aku tak sesabar itu."
Mataku dan matanya beradu dengan sengit. Dua emosi yang tak pernah reda. Apakah hari ini puncaknya? Ketika aku dan ia bahkan rela saling menjatuhkan demi argumen masing-masing atas keputusan siapa yang dirasa paling tepat?
"Hentikan, kalian berdua."
Suara itu memutus kontak mata kami yang begitu berapi-api. Aku dan Damian menoleh ke sumber suara tersebut berasal.
"Aku sudah tahu."
Dan sekarang, kami berdua rasanya seperti tertangkap basah. Tapi bukan dengan keringat.
Melainkan dengan darah.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
110420
*Multimedia: Damian Chadwick Voltaire
Hello, akhirnya ini cerita bisa muncul juga di Wattpad. Semoga bisa konsisten update dan semoga bisa terus konsisten dicintai kalian. Hope you like it. Biar tambah semangat nulisnya, don't forget to comment, like, and follow me! Also keep in touch with me on my other social media: michellewennn(ig) ill follow u back.