part 3 ( Nazka POV)

22 4 0
                                    

"Kalia." Sapaku padanya.

--

Hari ini mungkin adalah hari yang menyenangkan bagi siswa-siswi Jakarta International High School.
Tetapi tidak berlaku bagiku, hari ini adalah satu dari sekian hal yang tak kusukai yang pernah ada di muka bumi.

Entah aku memang orang seperti itu atau mungkin aku terlalu berlebihan menanggapinya.

Tetapi jelas bukan? Ini hidupku, aku berhak menentukan apa saja untuk diriku.

08.30 akhirnya kupaksakan diriku untuk segera bergegas ke sekolah. Aku tak mempunyai semangat hidup kali ini, tidak sama sekali.

Dengan bermalas-malasan, aku keluar kamar dan melangkah menuju ruang tamu, saat langkah ku melewati ruang makan ada yang memanggilku.

"Nazka, sarapan dulu nak.'' Ajak Asri, Ibuku.

Aku berhenti sejenak dan mengalihkan pandangan kepadanya.

"Tidak, Ma. Nazka sarapan di luar aja." Jawabku sembari tersenyum tipis.

Aku merasakan tiba-tiba ada seseorang yang memerhatikanku karena responku yang baru saja aku lontarkan.

"Biarin aja dia makan diluar, anak seperti itu enggak perlu di cemasin." Katanya dengan sedikit nada tegas, Andika, Ayahku.

Aku melemparkan tatapan kepadanya. Entah ini untuk keberapa kalinya dia mengeluarkan kata-kata seperti itu kepadaku di pagi hari, aku sampai tak bisa mengingatnya.

Kurasakan dadaku seperti terkena pukulan benda keras seperti hentaman bola basket pas mengenai bagian dadaku. Tetapi bedanya, sakitnya batin bukan jasmani.

Aku terus menatapnya dan merasakan suasana mulai menegang diantara kita.

Dengan segera aku memalingkan tatapan darinya ke arah Ibuku."Aku pamit dulu ya ma, assalamualaikum.''

Segera kulangkahkan kaki ku dengan gusar dan masih dalam posisi tangan terkepal kuat yang entah sejak kapan sudah berubah menjadi posisi seperti itu.

"Waalaikumsalam, hati-hati ya sayang." Balas Ibuku dengan nada sedikit seduh terdengar jelas.

"Liat tingkah lakunya, dia hanya pamit kepada kamu saja, dasar anak enggak tahu etikah." Sergah Ayahku dengan nada sedikit keras.

Aku tetap berjalan dengan perasaan entah bagaimana dan campur aduk tak jelas. Perkataan yang baru saja aku dengarkan seperti sebuah sembilu yang tak pernah absen kurasakan sedari dulu. Terus berulang dan berulang dan tak pernah berakhir hingga sekarang.

Aku selalu meyakinkan kepada diriku sendiri bahwa : 'Aku baik-baik saja, aku baik-baik saja'

Walau kenyataannya? Sudah terlihat jelas.

Aku menghela napas pelan. "Tenang nazka, kamu ahli dalam ini." Ucapku menenangkan diriku yang sudah kacau saat ini.

Aku pun segera berangkat sekolah mengendari motor matic yang sudah 4 tahun menemaniku dalam suka dan duka, yang menemaniku menempuh jarak, tempat dan arah.

--

Halaman luar sekolah pun sudah ramai dikerumuni oleh anak-anak remaja, baik yang berstatus siswa disekolah itu maupun yang hanya sebatas pengunjung untuk mengikuti acara yang berlangsung itu.

Kuparkirkan motorku di bawah Pohon Beringin tua samping sekolah, yang viral karena mitos Nenek Lampir sang penunggu Pohon Beringin.

"Nek, aku titip motorku yah, jagain ya nek, ini motorku satu satunya, aku orang tak mampu yang bisa membeli motor lagi jika motor ku ini kenapa-kenapa." Curhatku kepada sang penunggu pohon beringin, entah ini benar atau tidak tetapi aku menghargainya.

LET IT BETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang