part 4

32 1 0
                                    

"Kalia, pelan-pelan. Kamu nyakitin tangan aku!"

Kalia tidak mengindahkan teriakan Nazka. Ia tetap fokus dengan langkahnya. Suara Nazka seperti selayaknya suara semilir angin yang terdengar samar oleh pendengarannya.

Sedangkan Nazka? Sudah terlihat seperti anak SD yang tak mau bersekolah yang sedang ditarik paksa oleh Ibunya untuk berangkat kesekolah.

"Kalia, kamu dengerin aku enggak sih?!" Tanya Nazka, kali ini dengan nada yang cukup tinggi.

Kalia menghentikan langkahnya sekejap lalu memutar balik badannya kearah sosok yang sedari tadi bicara tanpa henti.
"Aku dengar Nazka, aku dengar. Dan bisakah kamu berhenti bicara sebentar saja? Aku mohon." Pinta Kalia dengan raut wajah sedikit memelas.

Ada rasa bersalah terpancar di wajah Nazka, mungkin terhubung langsung dari perasaannya. Sekarang ia merasakan bahwa sikapnya terlalu berlebihan kepada seorang gadis, apalagi notabene-nya adalah kekasihnya.

Nazka terdiam, masih memikirkan apa yang harus ia lakukan.

Sementara Kalia, tanpa di beri aba-aba, ia pun langsung melanjutkan langkahnya. Di susul oleh Nazka dibelakangnya yang saling bergenggaman satu sama lain.

Nazka tak mengerti mengapa Kalia terlalu bersemangat untuk pergi ke perpustakaan.

Tetapi bagus bukan? Nazka bisa menghindari setidaknya kegiatan yang paling membosankan yaitu larut dalam lautan remaja labil yang bersorak-ria tak jelas sambil berlompat-lompat dan mendengarkan irama musik yang menurutnya terlalu kejam untuk pendengarannya.

Banyak pasang mata yang memandangi mereka heran, entah dalam artian baik ataupun sebaliknya.

Merasa diperhatikan oleh banyak orang, Kalia pun mempercepat langkahnya dan bahkan bisa disebut sebagai berlari, bukan berjalan cepat.

Dan tentu saja, Nazka terseret dalamnya. Nazka terus mengumpat dalam hati dan memaki-maki dirinya sendiri karena ia tak bisa melakukan apa-apa saat ini.

Nazka yang malang.

Mereka pun menaiki tangga sekolah yang cukup ramai.
Banyak panitia acara maupun siswa sekolah tersebut yang sedang menuruni tangga.

Alhasil, mereka harus melewati kerumunan itu dengan susah payah.
Kalia tetap menggenggam pergelangan tangan Nazka dengan kuat, sedangkan Nazka merasakan pergelangan tangannya sudah seperti mati rasa. Ia mengumpat dalam hati, berkali-kali.

"Enggak lama lagi, aku enggak akan memiliki pergelangan tangan lagi." Gumam Nazka dengan nada sarkas.

Kalia mendengar gumaman Nazka. Tapi bukan Kalia namanya jika ia tak memiliki kepala sekeras baja.

Mereka melanjutkan langkahnya dengan hati-hati sembari melewati sekerumunan orang yang menuruni tangga secara tergesa-gesa karena terdengar suara dari microphone bahwa bintang tamu acara tersebut akan segera tampil.

Mengetahui hal itu, Kalia semakin bergerak agresif. Ia terus bergerak tanpa memperdulikan orang-orang turun dihadapannya. Bahkan sang ketua panitia, Aziz pun jadi korban keagresifan gerak Kalia.

"Aduh, Kal. Slow down. Ini tangga, bukan arena!" Aziz hampir saja terjatuh karena ulah Kalia menabrak pundaknya dengan sangat keras.

Kalia menatap Aziz dengan tatapan membunuhnya. "Justru ini tangga, makanya gunain kaki kamu dengan cepat."

Tertampang jelas raut kesal di wajah sang ketua panitia, tapi apa boleh buat? Ia hanya bisa mendengus kesal setelah mendengar ucapan Kalia dan berlalu menuruni tangga secara tergesa-gesa.

Nazka sempat bingung dengan reaksi Aziz yang baru saja ia saksikan. Nazka berfikir apakah Aziz terlena oleh aura Kalia sehingga ia tak membalas kelakuan Kalia, ataukah Aziz takut menghadapi seseorang gadis yang memyambet sabuk hitam di karate.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 18, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LET IT BETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang