Aku mengagumi bagaimana caranya menangani orang-orang di sekitarnya. Bagaimana dia, dengan mudahnya bisa berbicara dan memesona banyak orang dengan sikapnya. Bagaimana dia, dengan kebijaksanaannya bisa menyelesaikan permasalahan yang datang dalam organisasi kampus, tempat kami bertemu. Bagaimana kehadirannya bisa mengubah atmosfer sendu menjadi lebih ceria dan berbinar.
Dia memang semenyilaukan itu. Dan dia, tetap seperti itu hingga bertahun berlalu dan seolah takdir sedang tersenyum kepadaku, membawaku untuk bertemu dengannya dalam satu kantor yang sama.
"Nggak pulang, Le?"
Aku mendongak. Tersadar dari lamunan payahku yang sedang memikirkannya tanpa tahu malu. Wajahku terasa memanas dan bisa kupastikan saat ini tengah merona dengan memalukannya.
"Uhm, masih nanti. Belum selesai laporannya," jawabku sembari memalingkan wajahku. Menatap kembali layar PC di depanku yang sedang menampilkan worksheet excel penuh dengan angka yang teramat membosankan. Aku berbohong, tentu saja. Karena pekerjaanku telah selesai semenjak tadi. Aku hanya membuat alasan untuk berada di sini sedikit lebih lama. Aku membutuhkan sedikit percikan kilauannya untuk kehidupanku yang terlalu datar dan biasa.
"Masih banyak ya?" tanyanya lagi dengan ramah. Dia memang seperti itu. Baik kepada semua orang, tidak terkecuali aku. Individu pendiam dan membosankan yang membuat orang-orang berpikir berkali-kali sebelum mendekatiku.
"Itu... Anu..."
"Mau aku temani?" tawarnya yang membuatku tersentak.
"Nggak!" jawabku yang sepertinya terlalu cepat. Dia terlihat terkejut dengan reaksiku sehingga terdapat kerutan di antara alis matanya. "Uhm, sebentar lagi selesai. Aku hanya menundanya karena kupikir jalanan akan macet," gumamku semakin lirih. Masih tidak berani untuk menatap wajah rupawannya.
"Kalau begitu aku akan menemanimu. Nggak apa-apa, kan?"
"Huh?"
Dia tertawa. Menggeser kursi dari samping kubikelku yang kosong sehingga duduk di depanku. Dia lalu mengambil headset dan memasangnya di ponselnya. "Aku nggak akan menganggu. Sumpah!" katanya lagi dengan senyum yang tersungging.
Aku mengangguk malu. Berusaha tampak sibuk sementara ekor mataku berusaha untuk menangkap segala aktivitas yang dia lakukan. Dia tampak menikmati dunianya. Entah apa yang dia dengarkan dan mainkan di layar ponselnya. Namun beberapa kali dia terkikik geli dan membuatku penasaran.
Lima belas menit berlalu dalam keadaan itu. Cukup membuat lengkungan di bibirku sedikit terbentuk sebab kilaunya berhasil membuaiku. Aku bisa menghadapi dunia untuk beberapa hari ke depan, kurasa. Karena itulah, segera aku mematikan komputerku dan bersiap untuk pulang.
"Sudah selesai?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk. Memakai kardigan biru toska sebelum memakai tas ransel kecilku. Hanya berisi kotak tupperware yang sudah kosong setelah isinya aku habiskan untuk santap siang.
Dia berjalan di sampingku. Bersisian dengan dekat sehingga aroma colognenya bisa kuhidu ketika kami berjalan bersama.
Di lorong kantor, kami beberapa kali berjumpa dengan rekan lainnya. Seperti kebiasaanya, dia menyapa orang-orang itu. Terkadang bertegur kabar sambil lalu dan berteriak mengucap salam. Sementara aku, masih menunduk. Terkadang menutup pintu divisi lain yang terbuka sedikit karena kebiasaan yang sulit dihilangkan. Beberapa kali aku mengambil bungkus permen yang terlihat ketika dia berhenti untuk menyapa seseorang. Membuangnya begitu aku melihat tempat sampah yang kami lewati. Dan di sepanjang perjalanan pulang hingga ke loby kantor, itulah yang kami lakukan.
"Aku akan pulang, terima kasih karena sudah menungguiku-"
"Aku ingin mengantarmu."
"Eh?"