Bulan

1.2K 111 3
                                    

"Kamu seperti menjaga hatimu untuk dia. Padahal kamu sendiri tahu bahwa dia dan kamu tidak mungkin berjodoh."

Aku mendongak. Terkejut ketika Gerhana, teman gilaku tiba-tiba memberikan celetukan ajaibnya. Kami baru saja menamatkan The Lord Of The Rings sembari menghabiskan satu loyang pizza berukuran large. Membuat perutku terasa penuh bukan main. Dan bukannya komentar aneh mengenai frodo atau gandalf yang keluar dari mulutnya, Gerhana malah mengomentari kehidupan cintaku yang terbilang membosankan.

"Kamu melindur?" gumamku kesal. Aku melemparkan bantal sofa ke wajahnya. Melewati kakinya yang melintang di depanku dan sengaja dengan kasar menggesernya sehingga dia terhuyung dan hampir jatuh ke lantai. Rasakan!

Gerhana berdecak. "Kenapa sih kamu nggak terima saja cinta Kafka Kafka itu. Dia itu sudah bucin mampus sama kamu!" teriaknya kepadaku. Aku sudah di dapur. Mengisi ulang tupperware dengan air mineral untuk aku taruh ke dalam kulkas dan mengambil sebotol air yang sudah dingin. Meladeni pertanyaan Gerhana tidak pernah cepat. Dia harus mendapatkan jawaban yang membuatnya puas sebelum berhenti untuk mengonfrontasiku. Memiliki sahabat merangkap sepupu memang menjengkelkan. Apalagi jika sepupumu itu adalah kesayangan Mama. Tidak ada yang bisa membuatnya pergi dari kediamanku untuk saat ini.

"Harus teriak banget ya tanyanya?" dengkusku. Aku lalu kembali menghempaskan diri di samping Gerhana. Menyandarkan kepalaku ke badan sofa dan menatap langit-langit dengan motif membosankan.

Gerhana tertawa. "Sengaja. Siapa tahu Ibu lewat dan mendengar. Ibu pasti senang kalau tahu anaknya digebet laki-laki yang cinta mati berlebihan sama putrinya."

"Kalau pun tahu, Mama nggak akan memaksaku untuk cepat-cepat kok. Kalau aku belum mau, Mama mana tega memaksa. Aku kan anak satu-satunya-"

"Yang hampir berkepala tiga," katanya dengan kekehan.

Aku menempeleng kepalanya. Merasa kesal karena perkataannya benar. Gerhana juga seumuran denganku. Perbedaannya, dia laki-laki dan aku perempuan. Laki-laki di usia menjelang tigapuluh dianggap telah matang dan boleh saja tetap melajang. Namun perempuan diusia yang sama dianggap usia rentan menuju tanda-tanda akan menjadi perawan tua. Diskriminasi gender memang selalu merugikan kaum perempuan. Benar-benar tidak adil.

"Jadi?" Gerhana bertanya lagi. Jelas belum menyerah mengenai alasanku yang belum juga menerima Kafka untuk masuk ke dalam hidupku. Meski begitu, aku memiliki alasanku sendiri yang memang masih kusimpan rapat.

"Dia masih memiliki satu tempat sendiri di dalam hatiku," kataku lirih. Membahas tentangnya selalu membuatku sendu. Aku menyukainya. Dia cinta pertamaku dan mungkin kutukan mengenai cinta pertama selalu kandas memang benar adanya. Perahu kami tidak berlayar dengan lancar dan karam begitu saja. Aku kehilangannya meski kami masih berteman baik hingga saat ini.

Gerhana mengusap rambutku. Membawa kepalaku untuk bersandar di bahunya. Sepupuku juga mengenalnya. Pria konyol yang pernah mencuri hatiku. Pria yang terlalu santai menjalani hidup sehingga membuatku terkadang gemas dengannya. Pria yang juga ditentang oleh pikiran realistisku. Aku tidak bisa dengannya. Menjalani hubungan yang kutahu tidak akan pernah menemui akhir.

"Aku tidak berniat menikah. Kamu harus tahu itu, Lan." Ujarnya ketika aku mengutarakan perasaanku padanya. Saat itu aku bahkan baru berusia 20 tahun. Terlalu cepat bagiku untuk memikirkan pernikahan. Tetapi dia dengan santainya mengucapkan hal itu. Seolah berusaha membunuh perasaanku padanya.

Saat itu, aku menerima saja perkataannya mentah-mentah. Tidak keberatan asal bisa dengannya. Berpikir bahwa aku akan bosan dengannya cepat atau lambat. Namun begitu menemukan bahwa rasa itu tidak kunjung berkurang dan malahan semakin menguat, membuatku takut dan akhirnya memutuskan hubungan yang aku klaim adalah sepasang kekasih.

A Thousand WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang