Momentum

2K 141 4
                                    

Naskah lama di laptop.

Cerita pendek langsung tamat ya ^^

Silakan baca  >_<


###



Aku mengusap lagi keringat yang menetes di keningku, menatap dengan cermat perkamen yang berserakan di atas meja tempatku bekerja. Membaca isinya dengan cermat, dan menelaahnya. Keningku kembali berkerut ketika tiba di penghujung perkamen yang sedang kuhadapi.

"Bukan, bukan seperti ini akhirnya. Ada sesuatu yang hilang." Gumamku pelan seraya meletakan perkamen itu dan memijit keningku pelan.

"Begitu ya? Memang seperti belum selesai sih. Hm..." Gumam sebuah suara tepat di belakangku.

Aku terlonjak kaget dari tempatku duduk, berbalik untuk segera melihat sosok di mana suara itu berasal. "Astaga! Tari. Kau mengagetkanku!"

Gadis itu tersenyum lebar, menampakan gigi gingsulnya yang membuat wajah ovalnya terlihat cantik. "Ups, aku mengagetkanmu ya?" tanyanya tanpa rasa bersalah.

Aku menghela napas. Marah pun hanya akan membuang energiku, "Sejak kapan kau di sini? Aku tidak mendengarmu datang."

Gadis itu lalu memutari meja, membawa bungkusan yang kutahu berisi makanan. Kemudian ia mulai menata meja itu hingga siap untuk digunakan untuk dua orang.

"Aku sudah berada di sini kira-kira 20 menit yang lalu. Aku bahkan sudah mengetuk pintu selama lima menit dan memanggil-manggil namamu sampai suaraku hampir habis. Bisa kau bayangkan tidak?" katanya tanpa menghentikan aktivitasnya. "Yah, tapi tidak ada jawaban, jadi aku menunggu sampai waktu yang tepat untuk menyuruhmu istirahat."

Aku mendengus kesal padanya. Gadis molek di depanku hanya tertawa seolah aku adalah anak kecil yang sedang merajuk karena kesenangan mereka dihentikan. "Aku tahu kapan harus berhenti."

"Aku tahu," katanya santai masih dengan tawa yang berderai, "kau kan, sudah dewasa." Ledeknya kemudian.

Aku menggerutu pelan, menurut ketika gadis itu menarikku hingga duduk di depan meja berisi makanan. "Saatnya makan." Katanya seraya duduk di depanku.

"Enak kan?"

"Lumayan." Jawabku santai.

Gadis itu tersenyum lebar. "Kalau begitu berarti sangat enak."

"Aku bilang lumayan."

"Kau kan, jarang memberi pujian. Lumayan berarti sangat enak." Belanya.

Aku tidak menjawab. Pikiranku masih sibuk dengan perkamen yang lima menit tadi kutinggalkan. Ada bagian yang kurang. Tentu saja. Cerita itu tidak selesai seperti itu. Mungkin aku harus mengulangnya? Ah tidak, mungkin aku hanya perlu mencari di perkamen lainnya? Mungkin ada jawaban di sana. Huruf jawa kuna itu memang terlalu rumit untuk kupahami, tapi bukan berarti aku tidak mengerti.

"Raka, hei Raka, kau mendengarku tidak sih?" seru sebuah suara keras yang membuyarkan pikiranku. Ketika aku sadar, wajah marah Tari berada tepat di depanku.

"Oh, eh... maaf. Aku melamun."

"Apa sih yang kau lamunkan? Pekerjaanmu itu?"

Aku mengangguk.

"Ya ampun Raka! Aku hanya meminta lima belas menit waktumu dalam sehari, apa itu terlalu sulit? Tidak bisakah kau memperhatikanku di lima belas menit waktu itu?" sembur Tari.

A Thousand WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang