Sebuah Kabar

5.5K 248 11
                                    

Hari ini Hisyam merasa enggan keluar rumah setelah kejadian semalam. Semua santri pasti sedang membicarakannya. Semua ini berkat kakak dan Abah-nya yang mendadak menghilang semalam. Sebelum menghilang mereka meninggalkan pesan agar ia mengajar para santri malam itu.

"Ada apa, Gus? Kelihatannya sedang gundah?" tanya Bu Nyai Nuraini Baiti seraya meletakkan parsel di atas meja.

"Ini mau dibawa kemana, Buk?" Hisyam malah balik bertanya.

"Tentu saja ke rumah Kyai Amar Rofi'i Al Fariizi, calon besan Ibuk. Kemarin waktu pertemuan keluarga kamu menghilang kemana?"

Hisyam bukannya tidak ingat kemana ia pergi saat pertemuan keluarga kemarin. Saat itu ia sibuk menghindari Gus Bay tetapi naas malah bertemu Iqlima di dapur. Ia lalu menyelinap pergi ke kamar Tong Fang dan tertidur sampai sore. Ia masih ingat dengan jelas percakapannya dengan Gus Bay pada malam hari tepat sebelum diadakannya acara keluarga untuk membahas lamaran itu.

"Ciee, sudah dapat calon ya, Mas?" goda Hisyam pada kakaknya. "Sinten, Mas?" tanya Hisyam dengan rasa penasaran.

"Iqlima," jawab Gus Bay singkat.

"Ngapunten, siapa tadi, Mas?" Hisyam bertanya sekali lagi untuk memastikan kalau telinganya masih berfungsi dengan baik.

Gus Bay tersenyum lalu menutup novel yang dibacanya. "Iqlima Nahda Huwaida Al Fariizi, putrinya Kyai Amar Rofi'i Al Fariizi, sepupunya Gus Fatih Al Fariizi. Masa kamu nggak tahu? Apa Gus Fatih tidak pernah bercerita padamu?" Gus Bay balik bertanya.

Bagai tersambar petir. Hisyam menggeleng pelan. Iqlima, gadis yang selama ini dikenalnya ternyata adalah sepupu Gus Fatih, sahabatnya sendiri. Pantas saja ia menguasai kitab kuning dengan baik. Iqlima yang selama ini dikenalnya ternyata telah dipilih kakaknya untuk menjadi pendamping hidup. Mengapa? Mengapa dari sekian banyak gadis harus Iqlima?

Baru beberapa hari ini hatinya terobati oleh kehadiran Iqlima. Apakah ia harus segera mengikhlaskan seseorang yang disukainya kembali? Demi kakak tersayangnya. Ataukah ia harus mengatakan kepada kakaknya kalau ia juga menyukai gadis itu? Kakaknya pasti akan mengerti.

Tapi pertanyaan besar yang ada dalam hati Hisyam saat ini adalah apakah gadis itu tahu? Apakah gadis itu akan menerima lamaran kakaknya?

"Guuus?" Suara Bu Nyai Nuraini Baiti membangunkan Hisyam dari lamunan kecilnya.

"Njih, Buk?"

"Tolong panggilkan Mbak Iqlima kemari ya, Gus. Ibuk khawatir kalau cincinnya bakal kesempitan atau mungkin malah terlalu longgar," pinta Bu Nyai.

"Memangnya sudah diterima lamarannya? Apa Mbak Iqlima sudah tahu?"

"Lho ya sudah, tho. Semalam Abah sama kakakmu silaturahim dan secara pribadi melamar Ning Iqlima. Setelah diterima oleh Ayahandanya, keluarga besar kita baru akan kesana membawa seserahannya. Sudahlah, panggilkan Mbak Iqlima dulu, Gus." Bu Nyai kembali sibuk mempersiapkan seserahan.

Hisyam tersenyum untuk menutupi luka di hatinya. Apakah di sini hanya dirinya yang paling terlambat mendengar berita ini? Hisyam segera beranjak tetapi terdengar suara adzan yang berkumandang.

"Buk, Hisyam ke masjid dulu ya. Nanti habis salat, Hisyam mampir ke kantor pondok untuk memanggil Mbak Iqlima," kata Hisyam.

Bu Nyai mengangguk mengiyakan lalu kembali menyibukkan diri dengan puluhan parsel yang kini memenuhi ruang tamunya.

Gus Juga Manusia (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang