Istanbul, Turki.
Seorang laki-laki tampak berjalan tergesa di sebuah lorong. Ia merapatkan mantel hitamnya untuk menghindari udara dingin. Di luar bangunan itu, salju sudah turun tipis-tipis. Baru saja ia berniat untuk menerobos hujan salju, suara seorang perempuan memanggil namanya.
"Mas Hisyam!"
Hisyam menoleh. Seorang perempuan menghampirinya dengan wajah cemberut.
"Ditunggu malah ninggalin," protes Nadhila.
"Maaf Sayang Nadhila, kamu imut sih. Jadi nggak kelihatan." Hisyam mencubit pipi istrinya gemas.
Nadhila menepis tangan suaminya dan mulai melangkah meninggalkan tempat itu. Ia memang selalu menunggu Hisyam jika kuliahnya selesai lebih dulu.
Hisyam hanya tersenyum memandang wajah ngambek istrinya. Bagaimanapun juga ia merasa sangat bersyukur Nadhila yang alergi terhadap buku-buku pelajaran itu bersedia menemaninya kuliah di sini. Yah, meskipun Hisyam harus membujuknya berkali-kali supaya ia meneruskan S1. Hisyam sendiri mendapatkan beasiswa untuk meneruskan S2.
"Hati-hati, jalannya licin!" Hisyam mencoba memperingatkan.
Nadhila tidak mendengarkan, ia sibuk menendangi salju yang menghalangi jalannya. Tiba-tiba ia berhenti, tangannya merogoh sesuatu dari saku mantel.
"Saya tahu ini pertama kalinya kamu melihat salju." Hisyam menatap istrinya yang mulai berjongkok. "Tapi jangan dimasukkan plastik juga kali!" katanya gemas sambil menoleh kanan kiri.
Nadhila cemberut. "Biarin. Saya belum pernah dengar ada undang-undang kalau mengambil salju itu dilarang."
"Ya sudah, saya minta maaf. Jangan ngambek gitu dong. Ponsel saya tadi lowbat jadi tidak bisa menghubungi kamu kalau saya pulangnya telat." Hisyam mencoba memberi pengertian.
"Kan ada power bank." Nadhila tidak mau kalah.
"Ketinggalan."
Nadhila berdiri dan membuang kantong plastiknya di tempat sampah. Ia menatap Hisyam masih dengan wajahnya yang ditekuk.
"Ya sudah, yuk pulang." Nadhila berbalik untuk pergi.
Tiba-tiba sebuah tangan melingkar di pinggangnya. Hisyam memeluk Nadhila dari belakang. Ia meletakkan dagunya di pundak sang istri. Perempuan itu bahkan bisa merasakan napas hangat Hisyam di tengkuknya.
Nadhila berusaha melepaskan tangan Hisyam dari pinggangnya tapi laki-laki itu malah semakin mempererat pelukan.
"Sebentar saja," bisik Hisyam di telinga Nadhila. "Bukan cuma ponsel yang bisa lowbat, saya juga," kata laki-laki itu.
Nadhila tersenyum. "Yuk, makan. Sampean mau saya masakin apa?" tanya Nadhila.
Hisyam berdecak, apa hanya makanan saja yang ada di pikiran istrinya ini. Laki-laki itu lalu menjitak kepala Nadhila pelan.
"Aduuh!" Nadhila mengelus kepalanya dengan sayang. "Sampean itu yang romantis dikit napa!" protes Nadhila.
"Tadi diromantisin malah nggak peka, terus kamu maunya gimana?" Hisyam tidak habis pikir dengan kepolosan manusia satu ini.
"Kapan sampean bersikap romantis?" Nadhila balik bertanya.
Hisyam berdecak. "Tadi kan saya baru saja memeluk kamu. Apa itu tidak masuk dalam hitungan romantis?"
"Sampean bilang kalau sedang lowbat. Lowbat itu kan sama dengan kekurangan energi. Manusia kalau kekurangan energi obatnya ya makan, tho? Terus saya salah di bagian mananya?" jelas Nadhila panjang lebar.
"Udah ah, saya lagi males debat!" Hisyam lalu melangkah pergi meninggalkan Nadhila yang menatapnya kebingungan.
***
Salju turun dengan lebat malam hari ini. Di sebuah flat kecil tampak sepasang insan sedang duduk berhadapan tanpa banyak bicara.
Nadhila menyodorkan makalahnya, Hisyam mengoreksi pekerjaan istrinya. Tangannya mencoret lembaran kertas itu beberapa kali.
"Sayang Nadhila," panggil Hisyam.
"Ya?"
"Tadi kan saya sudah bilang kalau seperti ini salah. Kenapa kesalahan kamu masih konsisten di bagian ini terus, sih?" Hisyam mencoba bersabar.
"Emm, maaf." Nadhila mengambil pekerjaannya kembali.
"Kalau sekali lagi kamu salah, nanti saya cium," ancam Hisyam.
Nadhila mengambil pekerjaannya kembali dan meralat bagian yang salah, sementara Hisyam memandangi raut wajah istrinya."Serius banget, memangnya itu tugas dari siapa, sih?" tanya Hisyam penasaran.
"Bukan siapa-siapa, hanya profesor baru. Katanya, beliau dulu dosen di Kairo," jelas Nadhila.
Hisyam mengangguk. "Siapa namanya?"
"Profesor Youssef," jawab Nadhila singkat.
Hisyam mengernyitkan dahi. Sepertinya nama itu tidak asing. Ia yakin pernah mendengar nama itu sebelumnya, tapi ia lupa kapan dan dimana. Atau mungkin hanya perasaannya saja.
"Kenapa, Mas?" tanya Nadhila heran.
Hisyam menggeleng. "Tidak apa-apa. Sudah selesai?" tanya Hisyam.
Nadhila menyerahkan kembali pekerjaannya. Hisyam kembali mengoreksi pekerjaan Nadhila.
"Sayang Nadhila." Hisyam melirik istrinya, Nadhila hanya nyengir. "Kenapa kesalahan kamu masih konsis ... tunggu dulu." Hisyam menatap Nadhila dengan curiga. "Kamu tidak bermaksud sengaja menyalahkan pekerjaanmu sendiri, kan?"
"Emm, gimana yaa." Nadhila memainkan jari telunjuknya.
Hisyam tertawa. "Ya ampun, Sayang Nadhila. Kapan kamu akan berhenti pake bahasa kode-kodean begini? Kalau mau itu kan tinggal bilang saja."
Hisyam segera beranjak. "Yuk."
"Ke mana, Mas?" Nadhila mengernyitkan dahi bingung.
"Ke kamar," jawab Hisyam kalem. "Kalau di sini banyak penonton yang lihat. Tuh mereka lagi senyum-senyum sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gus Juga Manusia (Terbit)
Ficción GeneralGus itu juga manusia, makan, minum, dan pastinya juga kentut. Salah satunya adalah Gus Hisyam yang lebih dikenal dengan nama Kang Hisyam kini sedang naik daun dan menjadi pujaan para santri putri, ternyata ia pernah berkali-kali ketikung cinta. "S...