Identitas yang Terungkap

5.2K 252 3
                                        

Iqlima baru saja memberesi mukenanya saat ada pemberitahuan bahwa dirinya mendapat giliran untuk ikut muqoddaman di ndalem. Semua santri putri yang dapat jatah giliran pasti akan bersorak kegirangan, tapi entah mengapa gadis itu malah terlihat murung. Gadis itu berjalan pelan tanpa gairah.

"Jangan melamun, Mbak! Awas nanti kesambet lho!" sahut suara di sampingnya.

Iqlima melirik sebentar pada orang itu dan benar saja kalau itu suara Kang Hisyam. "Sampean kok berkeliaran dimana-mana sih, Kang. Daerah ini kan komplek santri putri?" tanya gadis itu dengan curiga.

"Oh, ya? Saya nyasar kalau gitu. Sampean mau kemana?" tanya Hisyam.

"Ndalem!"

"Acara apa?" tanya laki-laki itu lagi.

"Muqoddaman."

"Kok wajahnya ditekuk gitu? Sampean nggak suka ya muqoddaman di ndalem?" Hisyam memperhatikan raut wajah Iqlima.

"Bukan begitu. Saya itu hanya merasa iri," jelas Iqlima seraya beristighfar.

"Iri pada siapa?" tanya Hisyam penasaran.

"Mbak Ningsih tadi bilang kalau kita mau muqoddaman dan mendoakan Gus Bayezid yang baru pulang dari Cairo. Enak ya jadi Gus, di doakan sama bapak ibuknya dan semua santri juga mendoakannya. Beruntung sekali sejak dia lahir, sudah terlahir dari keluarga yang baik agamanya, baik pula nasabnya. Lha saya, mau saya berangkat ke Cairo kek, ke Arab kek. Siapa yang mau muqoddaman dan mendoakan saya?" jelasnya panjang lebar.

Hisyam hanya tersenyum mendengar penjelasan gadis itu. "Saya yang akan mendoakan sampean, bagaimana?" tawar Hisyam.

Iqlima menoleh."Maksudnya?"

"Saya yang akan mendoakan sampean nanti. Bukankah sampean bilang kalau ingin didoakan juga?"

Iqlima tertawa pelan. Ada-ada saja kang santri di depannya ini. Ia memilih untuk tidak menghiraukan Hisyam dan segera menuju ndalem.

Usai acara muqoddaman di ndalem, Bu Nyai meminta Iqlima untuk bantu-bantu sebentar. Beliau bilang akan ada acara keluarga. Ternyata cukup banyak keluarga ndalem yang datang. Iqlima sampai harus bolak-balik dari depan ke dapur untuk membawa minuman.

Tiba-tiba Kang Hisyam masuk ke dapur membuat gadis itu bernapas lega.

"Kang, tolong bantuin saya. Masa sampean tega melihat cewek kerja sendirian!" Iqlima lalu menyodorkan toples kosong dan beberapa bungkus camilan. "Tolong dimasukkan situ."

Hisyam agak terkejut dengan kehadiran gadis itu di dapur rumahnya.. Ia hendak menjawab tapi melihat gadis itu kembali sibuk dengan pekerjaannya akhirnya ia mulai membuka bungkus camilan itu.

"Biar saya saja Mbak yang membawa ke depan." Hisyam menawarkan diri saat gadis itu hendak membawa nampan berisi makanan.

Iqlima mengangguk. Ia membiarkan Hisyam untuk membawa nampan itu ke depan sementara ia sendiri menunggu di dapur. Gadis itu mengelap gelas sambil memikirkan sesuatu. Ia merasa seperti ada yang aneh dengan sikap dan raut wajah Hisyam barusan.

Gadis itu mulai gelisah saat Hisyam tidak juga kembali membawa nampan itu ke dapur. Tepat saat ia memutuskan untuk keluar lewat samping. Gus Bayezid masuk ke dapur sambil membawa nampan yang tadinya dibawa Hisyam.

"Gus Bayezid, mohon maaf sekali, Gus. Saya malah merepotkan panjenengan. Biar saya saja yang membawa makanannya ke depan." Iqlima tampak menyesal.

"Tidak apa-apa, biar saya saja. Sekalian saya mau balik ke depan." Gus Bayezid menolak dengan halus.

Iqlima mengangguk canggung. Hatinya terus menyumpahi Hisyam yang menghilang dengan tiba-tiba. Sampai-sampai Gus Bayezid yang harus membawa kembali nampannya. Berani sekali santri satu itu dengan Gus-nya!

Gus Juga Manusia (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang