Raihan Aksara Adhitama

322 7 1
                                    

Two Punks In Love - Bülow
-
Januari, 2004

"Keren kan, tempatnya? Makanya percaya sama gue," sahut Theo, kembali dengan senyuman cheshire-catnya meskipun terdapat sembab di wajahnya.

"Iya, bagus."

"Mau pesan apa?"

"Aku mau yang udah aku suka aja. Cheese cake sama teh hangat."

"Oke, samain aja. Mas, dua chamomilé hangat sama dua cheese cake, ya!"

Tiga jam berlalu.
Theo tidak menyangka, raut kusut Aurel kala pertama bertemu kini berubah.
Lebih manis.
Lebih hangat.
Seperti teh yang dihidangkan hari ini,
Yang mereka teguk bersama.

"Jadi, gak? Nemenin aku beli kado buat kak Virgo?"
Pertanyaan ini sebenarnya bukanlah sebuah pertanyaan, melainkan perintah bagi Theo.

"Jadi, bos! Jam tangan, kan? Gue tau tempat bagus disini yang cocok buat umur kakak lo,"

"Kamu selalu tau semua tempat di Bandung?"
Tanya Aurel dengan wajah herannya.

"Harus tau. Karna gue mau jalan sama Aurel Anasera Andien, jadi gue harus bawa dia ke tempat paling bagus."

Aurel tersenyum.

•••

2003

"Bu, kapan kita pergi libur? Temen-temenku semua liburan kerumah nenek, bahkan keluar kota," tanya si gadis kecil.

"Marsya, ayahmu belum pulang. Masa, sih kita libur tanpa ayah?" seorang ibu tersenyum dengan topengnya. Menyembunyikan resah dan penatnya dengan penuturan yang lembut. Kini, beliau belajar untuk tidak melampiaskannya pada siapapun.

"Bang Tio kemana?"

"Theo lagi kerja kelompok sama teman-temannya. Jangan kamu ganggu dulu, kasian abangmu bergantung sama tugas-tugasnya yang menumpuk," tuturnya kembali.

•••

Keempat remaja sedang menghabisi soda-nya sambil berbincang.

"Ray, liat tuh. Manis banget, buset," sahut salah seorang laki-laki berkemeja putih dan celana abu-abu.

"Itu anak mana, sih? Kok baru liat,"

"Ya terus, mau lo pada apaan, sih? Bukan urusan ini. Cewek cantik banyak," teriak Raihan akhirnya, risih dengan tiga temannya.

"Yakin lo gamau, Ray? Yang kali ini beda, lho,"
Tunjuk si rambut berjambul ke arah seorang perempuan.

Matanya turut melihat telunjuk temannya.

"Kenapa? Lo kenal?"
tanya si kurus berambut coklat.

"Nggak. Gak kenal,"
Dengan jawabannya yang begitu amat serius dan telak, ketiga pemuda yang lain saling pandang.

•••

Bandung, 1997

"Kamu bisa bantu matematika, gak? Aku gak ngerti,"
Bagai hujan yang tiba-tiba datang, seorang anak lelaki ingusan berambut kribo tipis dan bibir merah semu, datang meminta bantuan seolah sedang meminta jatah makan.

"Yang mana yang kamu enggak bisa?"
Tanya si gadis kecil berkucir kuda, dengan membawa buku si bocah ingusan.

Mengajarkan rumus matematika yang sulit bagi mereka. Berkali-kali latihan di jam istirahat, menghabiskan waktu hingga bel kembali berdenting.

ReturnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang