6. Teknik Membidik

389 5 2
                                    

Mereka membelok, memasuki jalan yang selama pesta rakyat itu berlangsung ditutup untuk lalu lintas mobil. Banyak orang berdesak-desak di situ. Alat-alat pengeras suara saling bersaing dengan musik yang memekakkan telinga, seruan orang-orang yang melaju dalam gelap naik kereta luncur, serta bunyi tuter nyaring pemberi tanda kereta-kereta hiburan yang berikut sudah siap untuk berangkat.
"Hmm -- harumnya!" kata Petra, sambil mengendus-endus. Bau harum buah badam yang dipanggang menghambur ke arah mereka.
Bello tidak tertarik mencium bau itu. Tapi tidak halnya ketika mereka lewat di depan kios pertama yang menjual sosis. Anjing kecil itu langsung berhenti. Matanya membesar. Setelah itu ia mengulurkan kaki depan, mengajak anak-anak bersalaman. Bello hendak memamerkan, bahwa ia anjing yang baik.
Sporty menghampiri kios itu.
"Satu sosis goreng," katanya pada wanita gemuk dengan celemek putih yang berjualan di situ. "Tapi dingin. Tidak usah digoreng."
Wanita itu memandang Sporty, seolah-olah meminta tikus mati.
"Apa maksudmu? Kausangka dengan begitu rasanya akan lebih enak?"
"Bukan untukku, tapi untuk anjing kami."
"Ah, begitu," Wanita penjual itu meletakkan sepotong sosis mentah di atas sebuah piring kertas. "Roti ini sebagai tambahan -- tidak perlu kaubayar. Pasti ia tidak suka bumbu, kan?"
Dalam sekejap mata roti dan sosis itu sudah lenyap dimakan Bello. Sementar itu anak-anak berembuk. Sayang saat itu sudah terlalu larut bagi Petra. Jadi tidak banyak lagi yang bisa dilakukannya. Tapi lumayanlah -- masih bisa sekali masuk ke Terowongan Hantu. Mereka bertiga berdesak-desakkan duduk dalam satu kereta. Sporty memangku Bello. Hanya anjing itu saja yang tidak merasa seram. Tapi ketika anak-anak terpekik menjerit dengan asyik, BEllo tidak mau ketinggalan. Ia melolong seperti serigala. Diiringi lolongan itu, perjalanan dalam terowongan melewati tengkorak dan hantu berjejer-jejer menjadi semakin mengasyikkan. Seram!
Boneka besar yang diingini Petra bisa dibeli di sebuah kios -- tapi harganya 15 Mark. Uang saku mereka tidak mencukupi, juga apabila mereka patungan bertiga.
"Kucoba saja di kios tembak," kata Sporty. "Disitu ada boneka yang serupa, sebagai hadiah. Dan satu kali menembak, harganya 60 pfennig (1 Mark = 100 pfenning)."
"Sudahlah," kata Petra. "Tadi pagi aku cuma asal ngomong saja ketika kukatakan kepingin punya boneka seperti itu." Tapi sinar matanya Sporty mengerti bahwa Petra sebenarnya kepingin. Ia hanya malu berterus terang.
"Aku akan mencoba menembak lima kali. Hanya segitu uangku."
Di kios yang dimaksudkan, Sporty langsung meminta senapan angin. Jarak ke bulatan kecil yang merupakan sasaran hanya beberapa meter saja -- seperti juga di kios tembak yang lain. Tapi angka 12 yang tertera di tengah-tengah, berada pada titik yang sangat kecil. Hanya yang bidikannya tepat mengenai titik itu saja yang bebas memilih hadiah yang diingini.
Petra dan Thomas menunggu dengan tegang. Keduanya mendoakan kemenangan Sporty. Tapi tembakannya yang pertama hanya mengenai lingkaran dengan angka 8. Tembakan kedua meleset, karena saat menarik picu ada yang menyenggol Sporty. Tembakan ketiga mengenai lingkaran dengan angka 11.
Kini Sporty mengerti, apa sebabnya sulit membidik dengan pasti. Ia harus berdiri di atas semacam kisi-kisi dari kayu, untuk mencegah agar kaki jangan basah jika hujan turun. Tapi di atas kisi-kisi itu, setiap getaran pasti merambat ke segala arah. Jika ada orang datang atau pergi, kisi-kisi itu tersentak. Dan sentakan itu menjalar, mempengaruhi bidikan.
Sporty menoleh ke kiri dan ke kanan. Kecuali dia, tinggal dua orang yang ingin menguji kemahiran membidik. Satu di antaranya baru saja berhenti. Sedang yang satu lagi masih menembak dua kali lagi. Setelah itu ia juga berhenti.
Sporty meminta pada kedua temannya, agar jangan menginjak kisi-kisi. Setelah itu ditopangkannya gagang senapan ke bahunya. Ia membidik dengan cermat. Tapi yang kena, masih saja lingkaran 11.
Saat mempersiapkan tembakan terakhir, ia agak lama membidik. Tapi saat telunjuknya menarik picu, ia tidak mampu menahan kegelisahan. Bidikannya, mengarah bukan ke lingkaran 12 tapi 10!

 Bidikannya, mengarah bukan ke lingkaran 12 tapi 10!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bidikan tepat!" seru pemilik kios. "Dua belas! Selamat! Ini yang ketiga malam ini. Silahkan pilih sendiri hadiah yang kau ingini!"
Sporty melongo. Rupanya di situ kuncinya, katanya dalam hati. Bidikan hrus dilencengkan sedikit.
Dengan wajah berseri-seri, Petra menunjuk sebuah boneka biru, dengan topi lancip berwarna putih. Ia menginginkan hadiah itu. Boneka itu disodorkanna pada Bello untuk diendus-endus sebentar. Tapi Bello tidak menaruh perhatian pada boneka. Mendingan ia diajak ke kios penjual sosis!
"Kita berkeliling sekali lagi, yo," kata Sporty. "Setelah itu Petra kita antarkan pulang, lalu kita berdua kembali kemari, Thomas -- dan pukul dua belas nanti masuk ke tenda tempat minum-minum. Siapa tahu - mungkin aku akan mengenali pencuri yang bernama Otto dari gerak-geriknya atau caranya berjalan."
"Bagaimana jika ia hanya duduk saja, tanpa bergerak-gerak?" Tanya Thomas dengan sangsi.
"Kalau begitu, aku mungkin akan mengenalinya dari hal lain. Pokoknya aku akan berusaha. Jika tidak langsung berhasil pun, aku pantang langsung menyerah."
"Aku ikut!" kata Thomas. "Kita harus terus siaga! Sepanjang ingatanku, itu cara yang baik."
Sewaktu lewat di depan tenda tempat minum-minum, mereka menjenguk ke dalam. Tempat itu sangat lapang, bisa memuat sekitar seribu orang. Sayangnya saat itu di situ penuh sesak. Itu pasti akan menyulitkan usaha pencarian. Tapi Sporty tetap optimis.
"Menjelang tengah malam nanti, orang-orang di dalam tenda ini sebagian besar sudah pulang," katanya. "Sejam kemudian pasar malam kan ditutup. Aku berani bertaruh, saat itu kita akan bisa lebih leluasa melihat."
"He -- itu Kaluschke. Bukan -- bukan Rudi, ayahnya! Coba lihat si Rakus itu! Atau jangan-jangan ia mabuk!"
Pengantar bir itu duduk di ujung sebuah meja panjang, di dekat jalan masuk. Ia menghadapi seekor ayam yang dipanggang garing. Di sampingnya, sebuah gelas besar berisi bir. Secara tidak sengaja sikutnya menyenggol gelas itu. Ia sedang ribut dengan seorang wanita muda, pelayan di tempat itu.
".....begini lama aku harus menunggu sebelum pesananku diantar. Keterlaluan!" Pak Kaluschke mengumpat sambil berpaling. Dan saat itulah sikutnya menyenggol gelas. Gelas itu terguling. Bir sebanyak setengah liter tumpah, membasahi meja. Laki-laki yang duduk berhadapan dengan pak Kaluschke cepat-cepat berdiri, karena takut tersiram. Piring-piring kertas mengambang di atas meja. Bir menetes dari tepi meja ke tanah.
Pak Kaluschke mengumpat-ngumpat. Ia mengangkat piring kertasnya, supaya ayam pangganggnya jangan basah. Tapi harus diletakkan di mana sekarang? Ia memerlukan kedua tangannya untuk membersihkan mejanya.
Karena tidak ada kemungkinan lain, diletakkannya piring berisi ayam panggang itu di sampingnya. Di atas tanah. Setelah itu diambilnya sebungkus sapu tangan kertas dari kantung, lalu dikeringkannya meja yang dibasahi bir itu. Pelayan tadi sudah cepat-cepat pergi.
Sporty bereaksi secepat kilat.
"Bello!" Perintahnya. "Ambil ayam itu! Ambil ayam!"
Bello sudah biasa mendengar perintah begitu. Tapi ia sebenarnya tidah perlu diperintah lagi. Ia langsung melesat ke dalam tenda, sementara Pak Kaluschke masih terus mengeringkan meja yang dibasahi bir. Mukanya merah padam karena marah.
Bello sampai di sebelah Pak Kaluschke, lalu menyambar ayam. Kena pahanya. Cepat-cepat Bello lari ke luar. Melewati anak-anak, lalu menuju sudut gelap di samping Lorong Penyesat, untuk menikmati daging ayam panggang dengan tenang di situ.
Thomas tertawa, sampai tubuhnya terguncang-guncang. Petra memeluk bonekanya erat-erat. Sporty mendekap mulutnya, untuk menahan tawa.
"Astaga!" Seru PEtra tiba-tiba. "Bello tidak boleh makan tulang ayam! Serpihannya bisa melukai lambungnya."
Ketiga anak itu lari mengejar. Untung saja -- ketika sampai di tempat Bello, anjing itu masih asyik menikmati bagian daging dan belum sampet mengunyah tulang. Ia menggeram, ketika ayamnya diambil. Tapi Sporty menolongnya, memisahkan daging dari tulang yang kemudian dibuang jauh-jauh.
Setelah itu mereka kembali ke jalan masuk ke tenda. Mereka melihat muka Pak Kaluschke sudah berwarna ungu. Nampaknya sudah untuk kesepuluh kalinya -- itu paling sedikit -- ia melongok ke bawah meja, mencari-cari ayam panggangnya. Sudut-sudut mulutnya berbusa -- karena marah, tapi mungkin juga karena lapar.
Ia berteriak-teriak memanggil pelayan. Tapi yang dipanggil tidak muncul.
"Ia takkan dilayani lagi," kata Thomas. "Aku berani bertaruh! Kau kemanakan tulang-tulang itu tadi, Sporty? Berikan saja pada Kaluschke, sebelum ia roboh. Ah -- lebih baik jangan! Pecahan tulangnya berbahaya. Itu merupakan hukuman yang terlalu berat. Bukan main! Kemungkinan bahwa Bello justru mendapat ayam orang itu, menurut perhitunganku..."

Thomas terdiam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Thomas terdiam. Ia sibuk menghitung-hitung. Tapi tanpa kesimpulan.
"Waktu kita tinggal sepuluh menit lagi." Kata Sporty. "Sekarang juga kau harus kami antarkan pulang, Petra! Jangan sampai pukul sebelas lewat kau baru masuk ke rumah. Kan tidak enak terhadap ibumu!"

Kasus untuk STOP - Pencuri Lukisan AntikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang