Part 14

5K 304 36
                                    

"Halo, Jim. Aku kirim kamu rekaman suaranya Mpok Jenny, ya? Tadi aku kerjain dia sedikit, tapi malah jadi keren gini hasilnya," kekeh Vella setelah sambungan telepon dari ponsel Jorge akhirnya ia terima.

"Elu, Vel. Gue kira Bos Gege mau ngomong penting. Maaf ya nggak angkat telepon mu tadi, aku lagi ngawasin orang mogok kerja sama demo di pabrik Bos Gege soalnya. Tuh denger 'kan suaranya?" sahut Jimmy menjelaskan.

"Iya, kedengaran itu. Ya ampunnn... Ngeri juga tuh. Egh, tapi yang aku kirim di Whatsapp itu jangan lupa kamu dengerin, Jim. Ini sangat penting buat hubungan mu sama Mpok Jenny. Oke?"

"Oke, deh. Nanti pas sampai hotel aku dengerin. Salam sama Jenny ya, Vel?"

"Cuma titip salam buat Jenny aja nih? Sama gue nggak titip salam juga?" celetuk Jorge yang ternyata sejak tadi mendengar ocehan kekasih dan anak buahnya itu di sana.

"Egh, ada si Bos. Gue kira nggak pake louspeaker," kekeh Jimmy dan Vella pun cekikikan, "Titip juga dong, Bos. Titip salam paling manis, biar pulang dari sini dapat jatah lebih. Ya 'kan, Bos?"

"Alah! Elu tuh kalau nggak duit, selangkangan aja yang ada di otak lu. Udah deh matikan teleponnya, Sayang. Ngomong lama-lama sama si Jimmy nih bisa bikin otak kita lemot kayak oncom. Beneran deh," sahut Jorge dan kali ini Jimmy terdengar sangat terpingkal di ujung telepon.

"Ya udah, Bos. Gue lanjut dulu di sini, ya? Bye bye..." dan sambungan telepon pun terputus, karena Jimmy sudah lebih dulu menutup panggilan tersebut.

"Emang si Vella kirim apaan sih? Suara rekaman? Rekaman apaan, ya? Bikin penasaran aja," batin Jimmy setelah layar ponselnya kembali ke menu utama.

Dua ibu jarinya pun sibuk mencari aplikasi Whatsapp yang ada di layar ponsel, namun satu tepukan di pundak, membuatnya terlonjak.

"Bang Jim, dicari Pak Badrun tuh. Katanya jangan telepon melulu. Cepetan awasi pintu pagar bagian samping kanan. Soalnya pendemo tuh bisa masuk dari sana lewat celah pagar yang rusak," ujar Ahmad, salah satu preman yang dibawanya dari Depok.

"Ck! Elu baru kerja sama gue sehari aja belagu banget sih! Udah lu kasih tau aja sama Pak Badrun, kasih kawat berduri aja di situ. Kalau kasarnya nggak ada, elu pergi cari ke toko bangunan pake gojek. Gampang, kan? Ribet aja!" kesal Jimmy menyimpan ponselnya di saku celana jeans.

Ia pun melangkah lebih dulu di depan Ahmad yang mengeekorinya dari belakang, dengan terus mengumpat akibat sang Manager produksi bernama Badrun itu.

Mau tak mau rekaman suara yang Vella kirimkan di aplikasi chatting itu tidak jadi di dengarkan olehnya sekarang juga, karena konsentrasi Jimmy sudah kambali ke area pabrik yang sedang bergejolak.

Sementara itu dari sebuah warung kopi kecil, Jenny sedang sibuk menatap ponsel dan tak lupa memasang senyum tak jelasnya di sana.

"Apa bener Bang Jimmy bakalan telepon gue sebentar lagi?" batin Jenny menatap foto profil Jimmy yang terpasang di aplikasi Facebook.

"Ehemmm... Itu terus yang di lihatin dari kemarin. Udah jadian ya sama dia?"

Sampai ia tak melihat jika Januar kini sudah berdiri tepat di sampingnya, dan ikut melihat foto profil Jimmy.

"Egh, ada Bang Januar!" kaget Jenny, mematikan layar ponselnya, "Kapan datangnya, Bang?" lanjutnya tersenyum kikuk.

"Udah dari sejak kamu senyum-senyum sendiri sama foto orang gila itu di handphone. Lama-lama kamu ikutan gila juga tuh," kesal Januar, mendaratkan bokongnya di atas kursi plastik.

WARUNG KOPI JENNY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang