Part 15

4.8K 282 26
                                    

Malam menjelang di Kabupaten Sidoarjo. Dari halaman monumen Jayandaru, kini Jimmy sedang menikmati batang rokok filter dan sibuk mendengarkan arahan Badrun untuk kegiatan lanjutan mereka besok.

"Jenny lagi ngapain, ya? Mana handphone gue lowbat parah. Egh, si kunyuk Badrun ini malah ngajakin kita semua main ke sini habis makan pecel tadi. Sialan! Gue kan penasaran sama rekaman yang Vella kirim tadi itu. Sialannn...!" umpat Jimmy dalam hatinya.

"Jim, lo pokoknya besok harus stay tepat di depan pintu ruangan yang bakalan mau dipakai untuk rembukan itu, ya? Lo jangan kelayapan ke mana-mana dulu kayak tadi! Soalnya ini penentuan tentang hidup dan mati gue, Jim. Gue masih pengen kerja. Sama kan lo juga masih mau dapat bonus dari Pak Jorge kalau sampai berhasil buat karyawan di pabrik balik kerja lagi?" ujar Badrun menepuk paha Jimmy.

"Ck! Beres Pak Manager produksi! Gue bakalan tidur malam ini dan nggak jadi ke Penthouse's Internasional di Surabaya itu lagi. Soalnya gue mau ngisi baterai handphone dan dengerin rekaman dari calon bini si Bos Gege yang tadi dia kirimin tuh. Tenang aja!" sahut Jimmy panjang lebar.

Tetapi jawaban itu berhasil membuat beberapa preman yang ia bawa dari Depok menjadi terkekeh keras, termasuk Badrun yang awalnya sedikit kebingungan.

"Gue nggak bilang itu kali, Jim. Lo mengkhayal sampai di mana sih?" celetuk Badrun, masih disertai tawanya.

"Ck! Apaan sih lo pada? Kenapa malah ketawain gue, hah?! Diem nggak lo? Gue kepret juga nih!" kesal Jimmy memperlihatkan gerakan silat ala Betawi-nya.

"Ya habis lo aneh sih. Gue itu bilang besok lo harus ready di depan ruangan yang bakalan kita pakai untuk rapat sama salah satu perwakilan dari pendemo dan beberapa kepala bagian, Jim. Kenapa malah bilang mau ngecas handphone?" jelas Badrun, memberi isyarat agar beberapa preman yang terkekeh itu segera diam dan tutup mulut, "Lagian kan kita udah janji juga mau pergi bareng liat Mbak-mbak bohay di Penthouse's Internasional Surabaya itu. Yakin lo nggak mau ikutan? Rugi banget dong. Bener nggak, guys?" lanjut Badrun dan beberapa preman itu pun membenarkan ocehan sang Manager produksi.

"Kampret lo pada! Kenapa malah belain dia? Biarin dia pergi sendiri! Awas lo semua ikutan. Berdosa tau! Ingat bini sama anak di rumah. Kalau dia mah bujang lapuk! Sengaja membujang biar bisa nakalin cewek-cewek terus. Jangan ikutan! Nggak baik nih orang satu," kesal Jimmy menghasut teman-temannya.

Badrun semakin keras terkekeh dengan serentetan kekesalan Jimmy, dan satu kelakar lagi ia berikan pada anak buah kesayangan Jorge Luis de Olmo itu di sana.

"Bilang aja kalo lo lagi jatuh cinta, Jim. Pake tanya gue bagaimana cara biar diterima sama cewek kan tadi pagi? Gue mah mana tau yang begituan. Soalnya tiap cewek yang gue sodorin duit, pasti langsung ngangkang aja. Jadi--"

"Alah, makin ngaco aja lu! Udah deh cepetan cabut dari sini! Gerah gue lama-lama ngobrol sama lu, Pak. Bikin kram otak tau!" sanggah Jimmy, diikuti tawa keras Badrun dan beberapa preman yang sedari tadi mendengarkan ocehannya.

Alhasil mereka pun pergi dari depan halaman Monumen Jayandaru dengan dua mobil, aset dari de Olmo Corporation yang berada di Sidoarjo itu. Dan karena Jimmy yang mengambil alih satu kemudi mobil, maka ia pun lebih dulu melajukan mobil tersebut ke hotel tempat mereka menginap.

"Lho, Bang! Kok ini beda jalan sama mobil depan yang di bawa Pak Manager?" tanya Ahmad yang duduk tepat di samping Jimmy, saat melihat mobil Badrun menyalip dan bukan membelok seperti mobil yang Jimmy kemudikan.

"Kampret! Lu bisa diam nggak sih?! Dari tadi gue ngoceh di depan patung Monumen itu lu dengerin nggak? Baterai handphone gue habis! Gue lagi ada urusan penting sama ini handphone, jadi gue kagak jadi ikutan clubing! Ngerti?!" kesal Jimmy memukul stir mobil, sebelum menatap tajam ke arah Ahmad, "Kenapa lu diam? Masih minat mau ikutan sama si kunyuk itu?! Kalo lu mau, gue turunin nih lu di sini sekarang! Biar lu naik ojek atau taksi online ke sana. Mau lu?!" lanjutnya memuntahkan kekesalan.

"Egh! Nggak, Bang. Ma..maafin gue. Terus aja pulang ke hotel deh, Bang. Gue juga nggak bawa dompet kalau Bang Jimmy turunin gue di sini," celetuk Ahmad dan lima orang preman di bagian kursi belakang pun menertawakan tingkah lelaki muda itu.

"Makanya nggak usah bawel jadi orang. Tinggal ngikut aja kok repot. Bikin kesel aja lo. Dasar!" sahut Jimmy, mulai menurunkan intonasi suaranya.

Mobil pun melaju terus ke arah hotel, dan dua puluh menit kemudian mereka semua sampai di sana.

"Masuk ke kamar kalian masing-masing. Kalau emang pengen ikutan sama yang lain ke tempat clubing? Silahkan ikutan ke sana, tapi gue nggak bakalan kasih satu Rupiah pun. Pergi aja pake duit pribadi lo pada," ujar Jimmy, menekan salah satu tombol di smart lock untuk mengunci pintu mobil.

"Ya elah. Pelit banget Bang Jimmy mah," sahut Tarmiji membuat langkah kaki Jimmy terhenti.

"Gue cuma nggak mau ambil resiko kali, Tar. Soalnya gue nggak ikutan ngawasi kalian di sana," jelas Jimmy. "Kalau si Pak Badrun, dia emang orangnya masa bodo. Dia kasih duit, lu pada mau have fun ya udah. Suka-suka elu aja situ. Tapi kalo pas mabok terus nggak sengaja bertengkar sama preman Surabaya kayak waktu si Komar di Malioboro Club tempo hari, siapa yang rugi? Air kencing lu bebas sabu nggak? Cari mati, kan?" lanjutnya sembari berkacak pinggang.

Tarmiji yang kikuk, hanya bisa menggaruk kepala dan Jimmy pun berlalu dari hadapan teman sesama premannya.

Ia masuk ke dalam kamar hotel setelah meletakkan sebuah kartu pada lempengan besi yang ada di pintu, lalu segera mengisi baterai di ponselnya.

"Duh, ini kok nol persen sih? Kapan naik jadi lima persen?" gerutu Jimmy melihat layar yang tertulis angka nol, "Mandi aja dulu deh biar wangi dikit," lanjutnya bermonolog.

Maka satu persatu pakaian yang melekat di tubuh Jimmy pun terlepas, dan air pancuran kini mengucur turun membasahinya.

"Sialan! Kok malah bangun Adek gue? Harusnya kan kena air dingin bakalan bobok tenang. Tapi ini... Arghhh...!" teriak Jimmy memukul dinding kamar mandi hotel.

Ia keluar dengan keadaan tubuh masih dipenuhi oleh busa sabun mandi dan hal mesum pun bergelayut di dalam kepalanya.

"Huh, untung aja baterai laptop udah penuh. Kalau semua pada lowbat gue harus gimana ini?" batin Jimmy menyeringai.

Sebelum mencopot kabel alat carger laptop, Jimmy pun menarik tisu hotel beberapa lembar. Di keringkannya telapak tangan dengan tisu tersebut, lalu laptop pun sudah tidak lagi terpasang kabel carger.

"Jennyyy... Jennyyy...! Kapan sih kamu ngerti kalau Bang Jimmy ini butuh kamu?" gerutu Jimmy yang masuk ke dalam bathup kosong, tanpa terisi air, "Kalo nggak 'kan pasti sekarang Abang nggak gila kayak gini, Sayang. Kamu juga bakalan ikut ke sini dan kita bulan madu deh berdua," lanjutnya, kini menghidupkan laptop.

Hal konyol pun terjadi lima menit kemudian, apalagi jika bukan acara mencari pelepasan akibat adik kecil Jimmy tak bisa diajak kompromi.

"Oughhh... Jennn... Ughhh... Enak, Jennn... Terus dikocok, Sayanggg... Oughhh... Iya! Iya gitu, Jen! Pake lidah, Sayang. Pake lid-- Achhh... Anjrittt...! Terus, Jennnyyy... Terusss..."

Jimmy dengan mata yang fokus menatap video bokep pun meracau tak karuan. Dan isi racauan panas itu, tentu saja adalah bayangan di mana si cantik Jennytha Junitha sedang memberinya satu kenikmatan surga dunia.

🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓

To be continue...

WARUNG KOPI JENNY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang