Part 12

5.6K 318 39
                                    

"Sialan! Udah jadi pintu rusun si Jenny. Pantesan tukang yang gue suruh buat benerin itu pintu malah balik dan sms gue kayak begini!" gerutu Jimmy dalam hati.

Laki-laki itu akhirnya turun dari mobil yang sengaja ia parkirkan tepat di depan warung kopi milik sang pujaan hati.

"Ehemmm..."

Dan berdehem, untuk memberi tanda kehadirannya pada Jenny yang terlihat sedang cekikikan menatap layar smart phone buatan china itu.

"Pintu rusun mu udah baik, Jen?" tanya Jimmy tanpa basa basi dan tanpa mau repot-repot duduk di kursi panjang, tempat biasa ia merayu si pemilik warung kopi.

"Egh, Bang Jimmy," kikuk Jenny menekan tombol pada smart phone sehingga layarnya kembali gelap, "Udah, Bang. Tadi Bang Januar yang perbaiki sendiri. Soalnya Jenny mau jualan jadi nggak lucu aja kalau pintu rusun terbuka atau ditutupi pakai kain gorden, kan?" sambung Jenny membuang tatapannya dari Jimmy yang selalu saja berhasil membuatnya salah tingkah.

"Oh, ya udah. Jadi berapa semua biaya yang kamu keluarkan tadi?" tanya Jimmy, terus ber-aku kamu saat berbicara dengan Jenny.

"Nggak usah, Bang. Tadi cuma beli engsel doang kok. Soalnya--"

"Nggak kenapa-napa. Aku yang salah di sini," sahut Jimmy mencabut dompetnya, "Ini buat ganti rugi beli engsel pintu tadi, Jen. Aku pergi dulu. Soalnya hari ini aku mau ke Sidoarjo dan nggak tau kapan pulangnya," lanjutnya menyimpan uang seratus ribu di atas toples kerupuk.

Deg

Jantung Jenny berdegup sangat kencang ketika mendengar Jimmy berkata ia akan pergi ke Sidoarjo hari ini, dan segera saja gadis mania itu mengangkat kepalanya.

Ia bermaksud ingin membalas omongan Jimmy, namun sang Arjuna sudah lebih dulu berbalik dan melangkah menuju ke mobil.

"Itu aja, Bang? Nggak ada kata-kata lain?" batin Jenny terus menatap ke arah mobil yang mulai bergerak dan mengambil posisi memutar, "Kalau cuma mau ngomong itu dan ngasih duit ini, kenapa harus pake acara pamit segala sih?! Gue nggak butuh duit ini! Gue bisa cari sendiri kali, Bang!" lanjutnya mengumpat, masih di dalam hatinya.

Air mata terbendung di kedua kelopak mata Jenny saat mobil yang Jimmy kendarai terus saja melaju semakin jauh, dan entah mengapa sedikit rasa kehilangan itu timbul begitu saja di sana.

"Bang Jimmy jahaaattt...!"

Lalu pecah ketika mobil itu sudah tak terlihat lagi di ujung gang.

"Bang Jimmy gila!" Gilaaa...! Bang Jimmy nyebelinnn...! Bang Jimmy Brengsekkk...!"

Sampai membuat bendungan air mata tersebut pecah, di ikuti dengan tubuh Jenny yang terduduk lemas di atas kursi plastiknya.

Sementara dari dalam mobil Jimmy pun merasa seperti orang gila, bersama telapak tangannya yang terus ia pukul di atas stir mobil.

"Arghhh...! Brengsekkk...! Apaan ini, hah?! Apaannn...?! Lama-lama gue bisa gila kalo kayak begini terus!" pekik Jimmy tak bisa ia tahan lagi.

Ia mengusap kasar wajah sampai ke rambutnya, mengambil ponsel dari saku celana jeans dan tetap fokus menatap ke arah jalanan yang saat itu sedang ramai lancar.

Namun saat ponsel telah berada dalam genggaman, fokus Jimmy mulai terbagi. Hal tersebut tentu saja karena bayangan wajah si gadis manis terus berada dalam isi kepalanya, hingga membuat ia ingin menuliskan sesuatu di aplikasi pesan.

Gue sayang banget sama elu, Jen! Gue harus gimana? Kenapa elu lebih milih Januar dari--

"Arghhh...!" teriak Jimmy menghapus kembali pesan yang ia tulis barusan.

Hal itu tentu saja karena nama Januar yang ia samarkan di sana. Jimmy sangat membenci Januar Arifin apa pun bentuknya, tentu saja semua karena pria tersebut kembali lagi datang di dalam hidup Jenny.

Kenapa sih kamu ketus banget sama Abang, Jen? Apa nggak bisa kamu kasih kesempatan buat Abang, Jen? Apa cuma si Monyet itu yang--

"Egrrr...! Dasar monyet brengsekkk...! Lama-lama gue matiin juga lo!" teriak Jimmy, lagi-lagi menghapus pesan yang sudah ia ketik untuk dikirimkan pada sang pujaan hati.

Jimmy sama sekali tidak bisa berkonsentrasi dalam merangkai barisan kata-kata tentang isi hatinya, sehingga sembari menyetir, berbagai umpatan pun ikut terlontar tanpa bisa disaring lagi.

Sedangkan di dalam warung kopi, Jenny pun melakukan hal yang sama persis seperti Jimmy. Hanya bedanya gadis itu berulang kali menghidup dan mematikan layar ponsel, akibat keragu-raguan dalam dirinya.

"Telepon nggak, ya? Gue malu beneran tapiii..." sungut Jenny kembali menyalakan layar ponselnya, "Kenapa bukan Bang Jimmy aja sih yang telepon gue duluan? Kan malu, Banggg...! Maluuu...!" lanjutnya bermonolog tepat di depan nomor ponsel Jimmy Waluyo yang di beri nama kontak 'Tukang PHP'.

Jenny bahkan kembali menatap sebaris nomor dengan jumlah dua belas angka itu secara detail, dan mulai mengejanya satu per satu.

"Woy, Tukang PHP! Bisa nggak sih elu aja yang telepon gue duluan?! Telepon gue! Telepon sekaranggg...! Lu sibuk apa, hah? Kenapa tadi lu sempat-sempatnya datang ke sini buat tanyain pintu rusun yang lo dobrak, ngasih gue duit ganti rugi engsel pintu terus pamitan?! Kenapaaa...?! Gue kan nggak tanya elu mau ke Sidoarjo kek! Ke Jakarta kek! Ke Bandung Kek! Citayem kek, Cibodas kek, apa kek! Gue kan nggak tanya, Bang Jimmy Oncom! Kenapa lu kasih tau, kalo habis itu lu nyelonong gitu aja? Lu nggak pengen denger apa tanggapan gue apaan?! Nggak pengen denger gue bilang 'hati-hati ya, Bang?' atau nggak pengen gue bungkusin pisang goreng keju pake susu coklat kesukaan lu?!" repet Jenny terus berbicara tanpa jeda.

Sayangnya di ujung repetan panjang itu, air mata Jenny kwmbali tumpah dan ia pun menangis terisak di sana.

"Bang Jimmyyy... Jahattt...! Kenapa lu tidurin cewek ganjen itu, Banggg...! Kenapa lu nggak bisa tunggu sampai besok dan hubungan kita jadi nyataaa...! Lu bilang sayang sama gue! Kenapa malah main gigit-gigitan sama cewek lain? Apa susahnya gigit Jenny aja, Bang? Apa susahnyaaa...?" batin Jenny terus terisak, sembari sesekali sibuk memeras ingusnya dengan tisu.

Jenny sama sekali tidak konsentrasi dengan urusan menjaga warung kopi miliknya, bahkan tepung beras yang susah ia campurkan dengan air dan sedikit kapur sirih itu tak tersentuh sama sekali.

Alhasil rencana memasak pisang goreng pun terganti dengan suasana haru biru yang tak bisa terelakkan hingga bermenit-menit lamanya, sampai pemandangan tersebut pada akhirnya terlihat di kedua bola mata Januar Arifin.

"Jen--"

"Gue sayang sama lo, Bang Jimmyyy... Abang salah kalau mikir Jenny sama Bang Januar bakalan balikan dan mau menikah! Itu nggak akan mungkin terjadi, Banggg... Tolong jangan buat kayak begini bisa nggak sih, Banggg... Tolong jangan PHP-in, Gueee...!"

Dan murkalah sang mantan Tenaga Kerja Indonesia itu ditempatnya.

"Brengsekkk...! Jadi Jenny nangis gara-gara cowok preman itu?! Sial!" batin Januar mengumpat, " Ini nggak bisa dibiarin! Aku nggak boleh kalah sama dia dan Jenny harus kembali sama aku!" lanjutnya terus saja menumpahkan serentetan kekesalan.

Pisang satu tandan yang sudah dipikul dan rencananya akan ia berikan pada si pemilik warung kopi pun tak jadi diserahkan langsung untuk mengambil hati.

Sebab kini Januar lebih memilih berbalik dan kembali ke mobil Grab yang menjadi alat mencari nafkahnya sepekan lebih ini.

"Kamu bilang apa tadi, Jen? Kamu sayang sama si brengsek itu dan nggak bakalan mau balikan apalagi menikah sama aku?" kekeh Januar, setelah meletakkan pisang satu tandan tersebut ke dalam bagasi mobil bagian belakang, "Kita lihat aja siapa yang akan memang, Jennytha Junitha! Kamu tau banget aku ini kayak apa, kan? Jadi jangan salahkan aku kalau perasaan baru mu itu harus segera aku bunuh sebentar lagi! Karena bagaimana pun juga kamu harus jadi Istriku, walau harus pakai cara merusak kesucianmu terlebih dulu!"

💦💦💦💦💦💦💦💦💦💦💦💦

To be continue...

WARUNG KOPI JENNY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang