Part 16

4.4K 309 35
                                    

Keluar dari kamar mandi hotel dengan lilitan handuk dan membawa laptop, Jimmy Waluyo nampak segar setelah melepaskan segala siksaan batin yang sempat mendera dirinya.

Ia segera mengambil baju kaos putih yang biasa dipakainya untuk tidur, memakai boxer dan bersiap pula melepas kabel alat charger di ponselnya.

Krukkk... Krukkk...

"Aduh, sialan! Kenapa malah bunyi lagi nih perut? Emang makan pecel tadi kurang?" umpatnya di sana.

Rencana mendekat ke arah di mana ponsel berada pun Jimmy urungkan sejenak, karena kini ia lebih memilih menuju ke meja nakas yang berada di sisi kiri single bed hotel.

"Berapa nih nomor telepon restoran hotelnya? Kok nggak ada keterangan di teleponnya, biasa dulu-dulu kalau gue nginap di hotel ada," celetuk Jimmy yang sibuk meletakkan gagang telepon di telinga, sekaligus memperhatikan pesawat telepon paralel tersebut.

Jimmy tak melihat kertas kecil berisi keterangan informasi hotel yang sebenarnya tertindih pesawat telepon, sehingga dengan tergesa-gesa ia menekan angka sembilan.

"Halo selamat malam, ada yang bisa dibantu?" sahut seorang wanita di ujung telepon dengan nada mendayu-dayu.

"Halo, saya lagi mau pesan--"

"Oh, iya. Mau pesan yang mana, Mas? Part time apa long time? Mas-nya beneran mau dipijat atau langsung aja?"

"Hah?!" pekik Jimmy segera menjauhkan gagang telepon itu.

"Halo, Masss... Masss..." suara mendayu sang wanita terdengar lagi.

Klik

Tapi Jimmy lebih dulu menutup panggilan telepon tersebut, karena gelenyar aneh tengah berada dalam batinnya.

"Sialan! Di hotel ini ada esek-esek juga? Pake ngomong pijat duluan atau langsung aja lagi. Gila tuh Mbak-mbak. Lama-lama bangun lagi Adek gue nih. Kampret!" sekali lagi Jimmy mengumpat.

Jimmy pun bergegas memakai celana cargo yang ia ambil dari lemari hotel, menyambar kemeja di gantungan baju dan mengenakannya asal, tanpa mau repot-repot mengancing kemeja tersebut.

"Makan nasi goreng di depan aja deh. Ribet pesan ke restoran hotel. Malah ketemu hantu binal nanti," batinnya mengeluarkan dompet dari saku belakang celana jeans yang seharian ini ia kenakan.

Langkah lebar pun tertuju pada pintu kamar hotel, namun ia merasa ada yang kurang dengan dirinya.

"Astaga! Hotel card-nya belum gue bawa. Dasar oncom! Bagaimana mau masuk nanti? Bakalan ribet lagi deh sama Mbak-mbak resepsionis di depan," lagi-lagi Jimmy bermonolog dalam hatinya.

Secepat kilat ia mengambil hotel card dan memasukkan benda itu ke dalam salah satu saku di celana cargonya, lalu melangkah lagi menuju ke pintu kamar hotel.

"Aduh, lupa lagi!" celetuk Jimmy memukul kening datarnya dengan telapak tangan, "Handphone, oncom! Elu 'kan mau dengar rekaman yang si Vella kirim di Whatsapp. Kenapa jadi bego gini?"

Alhasil lagi-lagi Jimmy melenggang masuk ke dalam dan mendekati meja nakas sebelah kanan, lalu melepas alat charger yang menempel di sana.

"Yaelah! Baru tiga puluh persen isinya. Kok ini alat charger makin lama aja yah ngisinya? Apa butuh yang baru biar bisa cepat penuh seratus persen?" gerutu Jimmy entah untuk yang ke berapa kalinya.

Harusnya ia dilahirkan sebagai wanita, sebab mulut lelaki itu sejak dulu cerewet seperti kaum hawa.

🍃🍃🍃

"Nasi gorengnya satu, Bang," sahut Jimmy ketika bokongnya sudah mendarat tepat di atas kursi kayu.

"Nasi goreng apa, Mas? Ada nasi goreng spesial, nasi goreng seafood, nasi goreng ikan asin, nasi goreng kambing, nasi goreng sederhana, nasi goreng--"

WARUNG KOPI JENNY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang