Rin

999 22 2
                                    


Kelas telah usai. Coretan tangan guru kami yang khas masih terpampang mencolok dengan warna hitam mengkilat di papan tulis yang putih. Hanya berjarak beberapa detik setelah guru kami keluar kelas, riuh ramai suara teman-teman langsung mengisi kelas kami diiringi dengan suara alat-alat tulis yang saling bertabrakan pelan karena dirapikan oleh pemiliknya. Seorang siswa yang cukup rajin, menghapus papan tulis hingga bersih dengan sepenuh hati. Beberapa siswa bercanda sambil mengganggu satu sama lain. Yang lainnya bercakap-cakap atau hanya sekedar berkemas dan bersiap untuk pulang.

"Mau ikut makan mie ayam?" ajak Tata sambil menepuk pundakku.

"Ada kedai baru di ujung jalan gang. Ada harga khusus untuk hari pembukaan," Naning juga tak kalah memberikan ajakan yang sama, seakan-akan ia sedang mengiklankan lokasi baru.

Bangku mereka memang tak terlalu jauh dariku. Hal yang mudah jika kami saling menyapa. Tempat dudukku berada dekat jendela, barisan nomor tiga dari depan. Tidak terlalu depan, namun juga tidak terlalu dibelakang, tempat dudukku tepat berada ditengah-tengah, mengingat masih ada 2 meja lain dibelakangku. Bangku Tata berada tepat di samping kanan mejaku. Sedangkan Naning berada tepat didepanku.

Dua sahabatku ini sangat berbeda denganku, namun mereka tetap selalu menomor satukan diriku. Banyak teman-temanku yang sangat ramah terhadapku. Semua orang mengaggapku orang yang menyenangkan dan bisa melakukan berbagai macam hal. Mungkin itu pula yang membuat orang-orang tak meremehkanku walaupun aku suka menyendiri. Namun sesungguhnya aku memang tak pernah bisa lama-lama dengan sembarang orang. Itu sebabnya, Aku hanya bisa nyaman diantara Tata dan Naning. Dua orang sahabat yang kupercaya dan mempercayaiku.

Sayangnya kali ini Aku tak bisa menerima ajakan mereka. Aku harus menemui seseorang.

"Kalian hari ini berangkat saja sendiri, ya. Ada sesuatu yang ingin kulakukan setelah ini,"

"Ah, kalau nggak sama Ann jadi malas. Kapan-kapan aja deh!" Naning menjawab dengan nada kecewa. Ia menunjuk pipi kananku dengan keras dan gemas.

"Da, dah." Merekapun pergi.

Ku kemasi barang-barangku kedalam tas. Ku ambil buku yang ku temukan saat di danau. Ku bolak balik sebentar dan bergegas keluar kelas dengan menenteng buku itu.

Tak sampai kaki ini melangkah keluar kelas, Aku di kejutkan dengan kedatangan seseorang. Tepat di depan pintu kelas. Kami hampir saja bertabrakan. Potongan rambutnya, tinggi badannya, detail wajahnya amat sangat kukenali. Ia gadis pemilik buku ini. Kami sama-sama terkejut.

"Anu," Ia berkata dengan ragu, dan terlihat takut.

"Bukumu ada padaku!" Kami mengatakan kata-kata yang sama, di waktu yang bersamaan. Dengan saling menyodorkan buku.

Untuk kedua kalinya kami sama-sama terkejut. Akupun tertawa. Ia terlihat tersenyum malu dan menundukkan kepalanya. Aku jadi berfikir. Ada berapa kejadian seperti ini didunia pada hari ini?.

"Maaf, kak. Bukumu tak sengaja ku bawa saat Aku terburu-buru pergi tadi," ia mengatakan dengan senyuman.

Astaga, Aku bahkan tak mengerti dan tak menyadari bahwa salah satu bukuku menghilang. "Ah, iya. Bukumu juga ketinggalan. Ini!"

Ia mengambil bukunya dari tanganku, dan ku ambil bukuku dari tangannya.

"Rini Andini?" panggilku lirih.

"Ah, iya?"

"Namamu Rini Andini kan?"

"Panggil Rin saja, kak"

"Ah, Baiklah Rin, kalau begitu aku juga akan memperkenalkan diriku. Kau bisa memanggilku Ann. Jangan lupa memberikan huruf dobel pada 'n' ", Aku mengulurkan tangan padanya. Rin tersenyum lalu membalas uluran tanganku.

"Kau sendirian?" Tanyaku. "Mau bareng ke depan?" .

"Baiklah," Ia tersenyum. Kamipun berjalan bersama.

Di sepanjang lorong kelas Rin hanya diam di sebelahku. Hingga di halaman parkir ia tetap saja diam. Aku sempat mengaggap bahwa akulah yang menjadi sosok garing diantara kami. Namun ketika aku melirik kearah Rin, gadis itu berjalan sambil menunduk dengan beberapa buku ditangannya. Jadi, aku langsung menyimpulkan aku sedang berjalan dengan gadis yang pendiam. Wajar saja jika suasana ramai di halaman parkir, seakan berbanding terbalik dengan suasana hening di antara kami.

"Kau diam saja, Rin?" ucapku memulai pembicaraan.

"Ah, anu." Ia terbata-bata lagi. "Aku tak tau harus berbicara apa." Ia menunduk dan pipinya memerah, tanpa memandangku.

Akupun tertawa. "Jadi, apa kau membawa sepeda?"

Ia menggeleng.

"Mau ku antar pulang?"

"Eh?. Apa tidak merepotkan?"

"Tidak apa-apa."

Aku berlari mengambil sepedaku. Posisinya sudah berbeda dari awal aku meletakkannya tadi pagi. Mungkin saja beberapa anak memindahkannya untuk mengambil sepeda mereka sendiri. Alhasil aku bersusah payah menyingkirkan sepeda lain agar sepedaku bisa mendapatkan jalan keluar. Rin menunggu diujung parkiran dengan canggung. Aku jadi tak terlalu berharap bahwa ia akan membantuku. Untung saja aku bisa mengambil sepedaku tanpa membuat sepeda lain terguling. Ku kayuh sepedaku menuju kearah Rin. Ia masih terlihat bimbang. Kedua jari tangannya yang lentik ia mainkan satu sama lain diantara buku-buku yang dipegangnya. Seakan memikirkan sesuatu.

"Apa benar tidak apa-apa?" Ia bertanya lagi.

"Tenang saja, tak masalah!"

"Tapi,"

"Sudahlah, ayo naik!. Tunjukkan Aku dimana rumahmu!"

Ia tersenyum, lalu duduk di belakangku. Rin bukanlah orang yang cepat membuka pembicaraan. Sedangkan aku yang juga tak suka basa-basi juga enggan untuk memulai topik pembicaraan. Sepertinya karakter kami tak terlalu berbeda. Akupun mengayuh sepedaku menuju setiap gang dan arah yang ia tujukan. Tak ada percakapan lain di antara kami, selain arah dan rumahnya. Aku menikmati setiap senti kami saling berboncengan, ia tak terlalu banyak bertanya, dan aku suka itu.

"Ternyata rumahmu di sini. Kalau begitu, tak terlalu jauh dengan rumahku." Kataku setelah kami berhenti didepan rumahnya.

"Benarkah?"

"Iya. Rumahku ada di gang sebelah sana."

"Ah, kebetulan sekali." Ia tersenyum padaku. Manis sekali. "Terima kasih, sudah mengantarku pulang."

"Sama-sama. Sudah dulu ya, semoga besok kita bertemu lagi!"

Akupun mengayuh sepedaku kembali. Ia melambaikan tangan padaku. Untuk beberapa meter kemudian, Aku merasa, bahwa ia masih memandangiku. Dan benar saja, ketika aku menoleh ke belakang, Ia masih berdiri di depan pagar rumahnya, tersenyum ke arahku.

Malam ini, ku pandangi langit-langit kamarku. Puluhan kertas-kertas catatan menempel di atas. Berantakan tak beraturan. Aku sengaja menempelkannya di sana, supaya Aku selalu mengingat catatan-catatan itu sebelum tidur. Sebuah rutinitas yang amat sangat kusukai. Sempat beberapa kali aku menganggap bahwa itulah yang membuatku bisa mengingat pelajaran-pelajaran yang lumayan susah. Mungkin.

Namun, Tata dan Naning selalu menganggap itu bagaikan mantra-mantra yang kutempelkan di langit-langit. Mereka berdua selalu berusaha membersihkan catatan-catatan itu jika mereka berkunjung. Kertas-kertas itu selalu dianggap sebagai penyebab aku selalu terlihat suram karena selalu dikutuk oleh berbagai macam rumus sebelum tidur.

Dua sahabat yang selalu kupikirkan setiap malam. Aku hanya memiliki mereka berdua sebagai orang-orang terdekat yang dapat kupercaya. Rasanya aku sudah menyayangi mereka lebih dari sahabat ataupun keluarga. Bukan karena apa, tapi aku menganggap kami adalah anak-anak yang bernasib sama. Dan kami memiliki luka yang sama.

Namun malam ini berbeda. Aku memikirkan satu orang lagi. Seseorang yang tiba-tiba terjatuh di belakangku hari ini. Rin.

Rin's Kiss [Yuri Romance Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang