Kakek Berkaki Buntung

26 9 1
                                    

Udara makin berubah, iklim seringkali tidak menentu dan tidak pernah bisa diprediksi. Sabtu sore, kami bermaksud menghabiskan waktu dengan pergi memancing di danau dekat toko kayu di ujung komplek. Setelah menyiapkan semua peralatan serta umpan, aku bersiap berangkat bersama Dito dan Andre. Aku mengeluarkan sepeda dari garasi tempat kos.

Andre memutuskan untuk berjalan kaki. Meski zaman sudah canggih, sepeda tetap menjadi kendaraan favorit. Kami sadar bumi sudah makin tua dengan banyaknya asap kendaraan bermotor, asap pabrik, serta hutan yang kini makin sempit tergantikan dengan lahan kosong dan penuh gedung-gedung megah.

Sepuluh tahun terakhir, negara ini berkembang makin bagus, tetapi aku tidak terlalu peduli dengan segala kecanggihan yang ada. Internet saja jarang mengakses kalau tidak ada keperluan. Aku lebih sering menonton televisi dan memilih membaca buku atau koran. Jangan salah, koran tidak akan tergantikan oleh situs berita daring yang makin menjamur di zaman canggih ini. Aku katrok, ya? Biarlah.

Aku menyukai sejarah, tetapi kuliah jurusan manajemen. Andai aku bisa kembali ke masa lalu dan menyaksikan semua sejarah yang ada di dunia ini. Minta tanda tangannya Agatha Christie misal—atau bertemu Ibnu Batutah. Mungkin, kalau bisa ke masa lalu—aku ingin naik Titanic.

Jarak tempat memancing sekitar tiga ratus meter. Aku mengayuh sepeda sambil membawa kail dan ember. Dito mengikuti dengan sepedanya sambil membawa tas kecil berisi air minum. Andre sudah berjalan mendahului kami, dia memainkan joran pancingnya seperti bermain pedang.

Setelah seratus meter, kami sampai di gang sempit. Di kanan jalan, terdapat toko yang sudah tidak digunakan lagi. Tampak seorang pria tua dengan pakaian hitam yang kumal. Pria malang itu mengais–ngais tempat sampah, ia memakai topi model koboi. Tubuhnya menempel pada tiang lampu tidak jauh dari depan toko lama. Dia berusaha menopang tubuhnya dengan tongkat yang diselipkan di ketiak sebelah kiri. Rupanya dia hanya memiliki satu kaki. Kami berjalan mendekatinya.

Andre anak yang urakan dan sembrono, dia tiba–tiba berteriak. "Hoi! Pak tua! Sedang mencari nasi sisa kucing, ya?"

Aku turun dari sepeda lalu menjitak kepalanya. Dito ikut menjitaknya dua kali, Andre meringis kesakitan. Aku menghampiri pak tua tersebut, dia masih mengorek tempat sampah dengan kayu kecil di tangannya.

"Permisi. Maafkan ucapan teman kami, dia suka bergurau. Apa yang sedang kakek cari di sini?"

Dia tetap fokus pada tempat sampah di depannya. Dito dan Andre menghampiriku. Pria tua itu mulai berbicara, suaranya sangat berat juga serak.

"Aku sedang mencari kotak hitam milikku. Aku tadi membuang sampah di sini, barangkali kotak milikku ikut terbuang." Dia masih saja mengorek tempat sampah tersebut. "Ah, iya. Bisa tolong bantu aku mencarinya?" dia memohon pada kami.

Andre berjalan menuju depan toko tua. Aku dan Dito membantu kakek tersebut. Beberapa saat kemudian, Andre memanggil kami, dia menemukan kotak itu ketika ingin duduk di atas kardus. Kotak hitam tersebut tertutup kardus. Ternyata pak tua lupa semalam tidur di sana dan meletakkan kotak hitam tersebut di sampingnya. Dia tampak senang, lalu menghampiri Andre dengan langkah tersendat dibantu tongkatnya.

"Ah! Terima kasih anak muda. Barang ini sangat berharga, sudah kakek rawat selama puluhan tahun."

Pak tua tersebut tersenyum lalu duduk di samping Andre. Dia memasukkan tangannya ke saku bajunya yang lusuh. Mengeluarkan sebuah kalung dengan bandul berbentuk bulat. Di tengahnya terdapat tanda silang, bagian bawah berbentuk seperti lampu bohlam tetapi lempeng dan bercorak aneh. Tepi bandulnya berwana emas, serta bagian bawah—yang berbentuk mirip bohlam lampu tetapi pipih bewarna perak bercampur emas dengan corak yang sedikit memudar.

Alice Schyler (Kalung Antik Terkutuk)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang