Reihan. Pria otoriter yang ingin sekali Deira tenggelamkan ke dasar laut. Berkat pria itu, sekarang Deira seperti anak ayam yang kehilangan induknya.
Dia tidak bisa pergi ke kelas karena pelajaran sudah dimulai. Juga tidak mungkin tetap diam di perpustakaan karena Reihan baru saja meninggalkannya ke alam mimpi.
Bu Dian, sang pustakawati yang terkenal ramah ini sepertinya sudah biasa menghadapi Reihan. Dia hanya menggeleng sambil mengukir senyumnya yang tipis, tanpa menegur atau mempermasalahkan Reihan yang menyalahgunakan fungsi perpustakaan.
Deira ingin memprotes, mengingatkan Bu Dian agar tidak hanya duduk manis saat anak didiknya menyalahi aturan. Tapi kemudian dia ingat, dia sendiri juga sering menyalahi aturan.
Dari pada menjadi manusia munafik, Deira memilih untuk membatalkan niatnya.
Deira melirik Reihan sesaat, pria itu terlihat damai dalam tidurnya. “Coba lo nggak otoriter, pasti gue seneng jadi temen lo” dia membenarkan posisi kaki Reihan yang membentang ke atas menggapai rak buku.
“Dan lagi, muka-muka kaya lo ini sebenernya nggak pantes dapet peran antagonis. Jadi mendingan lo tobat, jangan ngebully anak orang lagi”
Deira berkhayal, andai dia bisa mengucapkan hal itu saat Reihan terjaga. Mungkin dia bisa mendapat banyak hadiah dari para korban bully Reihan. Sayangnya, dia tak punya cukup nyali untuk melakukannya.
Memandang wajah Reihan sekali lagi, Deira melangkah ke luar. Sebelum benar-benar pergi, dia sempatkan beberapa detik untuk menyuguhkan senyumnya pada Bu Dian.
“Asem! Gue mau pergi ke mana, coba? Kalo masuk kelas pasti kena semprot Bu Teti” terseok-seok, Deira menyeret langkahnya malas. “Mana sekarang ulangan harian, pasti nanti gue disuruh susulan. Sial!”
Itulah alasan kenapa Deira tetap masuk kelas Bu Teti walau tak suka dengan pelajarannya. Semangat guru itu seperti gerombolan warga yang memergoki maling jemuran jika siswanya tak mengikuti ulangan.
Dia akan mengejar siswa yang tak mengikuti ulangannya, sampai ke ujung neraka sekalipun.
Ulangan matematika. Di ruang guru. Tanpa teman. Tanpa contekan. Sendirian.
Membayangkannya saja sudah membuat Deira merinding.
Tak ada tujuan, Deira akhirnya menyeret langkahnya menuju kantin. List tempat nomor satu yang sudah terpatri dengan kokoh di otaknya.
Dia celingukan ke kanan dan ke kiri mencari meja yang kiranya pas untuk dia tempati. Bingung.
Semua tempat terlihat sepi tak ada yang menghuni. Hanya ada sendok dan tissue saja yang tersedia di atas setiap meja.
“Masa gue duduk sendirian? Kalo ada yang ngira gue jomblo gimana?” gumamnya. Walau memang itu kebenarannya, tetap saja Deira gengsi untuk mengakuinya.
Mau ditaruh di mana surat cinta dari para pria yang jika dijilid tebalnya mengalahkan novel Harry Potter itu?
Makanya, kemanapun dia pergi dia selalu menyeret Regan sebagai gandengannya.
Berjalan ke arah barat, Deira hanya melirik sekilas menu-menu yang tersedia. “Anjir gue bingung” cicitnya.
Tak ada tujuan, dia hanya mondar-mandir di depan stand tekwan. “Mau beli, Neng?” tanya Bu Aini, sang pemillik stand yang sudah delapan tahun menempati sekolah ini.
“Nggak, Bu” jawab Deira.
“Kalo nggak mau beli jangan berdiri di sini. Saya nempat di sini bayar sewa, mahal lagi” usir Bu Aini tanpa basa-basi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Accident
Teen Fiction"Mati aja gue! Gue dateng sendiri ke kandang kambing--eh salah. Maksud gue kandang macan" ~Deira Adelina Trisulla~ Cover by: @Kimyoung_01