Story 1: Halte

19 2 0
                                    

Jalanan di tepi kota ini sedang lenggang, tak banyak kendaraan lalu lalang. Satu dua mobil sempat melintas, namun kemudian jalanan kembali sunyi senyap. Langit tengah berpendar kemerahan ketika aku masih terduduk di bangku besi yang mulai berkarat, warna awalnya bahkan sudah sulit ditebak. Dari atap halte, tetesan air selepas hujan masih menitik, perlahan namun pasti, menimbulkan cekungan kecil pada aspal jalanan dibawahnya, bukan tak mungkin cekungan itu akan semakin melebar dan membesar. Kau tahu? Segala sesuatu tentang hukum fisika yang menyebutkan bahwa tiap tetes air juga mengandung gesekan ketika menetes ke benda dibawahnya, meski bermassa kecil namun jika terjadi terus menerus tetap akan menimbulkan dampak yang cukup besar, yaa kira-kira semacam itu.

Aku masih terduduk di bangku besi di halte tua itu, menatap kosong ke jalanan lenggang di hadapanku, entah apa yang kutunggu aku sendiri bahkan tak tahu. Bau udara selepas hujan di halte ini sedikit mengusikku, mengingatkanku pada beberapa memori di tempat ini, memori yang mengakibatkan relung dadaku terasa penuh. Ada adrenalin yang terpacu disana, ada letupan-letupan aneh yang terasa, jantungku tak berhenti berdebar menyaksikan memori diputar di otakku, bergerak perlahan seperti mesin film pada zaman dahulu.

Aku masih membatu, masih tetap membisu. Pendar kemerahan hilang dari langit di atasku, semuanya tiba-tiba gelap, seruan untuk beribadah terdengar dimana-mana. Aku masih menunggu, entah apa yang kutunggu. Lampu jalanan tetiba dinyalakan, oranye cerah yang cukup mengganggu mata, biasnya menerpa genangan air di jalanan yang basah membentuk sebuah pantulan cahaya yang cukup indah. Satu dua mobil kembali lewat, dan kemudian jalanan kembali lenggang.

Dari kejauhan, terdengar deru mesin tua yang sudah waktunya di betulkan namun diurungkan pemiliknya karena Ia merasa si bongsor ini masih sanggup membawanya sejauh mungkin, mengantarkan penumpang ke tujuan dan akhirnya membawakan lauk pauk untuk makan malam ini dan esok harinya. Deru mesin tua itu semakin jelas terdengar, kututup mataku, kutarik napas panjang, tak lama bis tua ini sudah merapat ke halte tempatku menunggu. Aku bangun dari dudukku, naik ke dalam bis terakhir pada hari ini. Tak lama berselang setelah aku meletakkan bokongku pada kursi tua dengan sobekan disana sini, bis ini melaju, meninggalkan kepulan asap yang kelak akan bersatu dengan atmosfer diatasnya. Aku termenung, terpaku menyaksikan tiang-tiang lampu jalanan yang kini berlalu melewatiku.

Dan Aku masih menunggu, namun entah apa yang tengah kutunggu.

Selepas HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang