Story 3 : Kopi dan Resah

6 2 0
                                    

Hai
Bagaimana kabarmu?
Aku masih begini-begini saja
Hai
Masih ingatkah pada bagaimana kau lepas sedihmu pada pundakku?
Kuharap kau tak lagi perlu bersandar pada tiap rasaku
Hai
Kopi ku dingin Tanpamu
Bagaimana dengan kekasih barumu?
Sudikah Ia menyakitimu seperti yang lalu-lalu?
Bila iya, tenang saja
Aku masih disini
Masih menanti
Belum bergerak
Bahkan barang sekali

Semarang, 2018
-NamakuNaya-

***_***

Lagi-lagi pria itu disana, duduk sendirian di meja yang langsung menghadap ke jendela, menyaksikan kerlip lampu ibukota dari lantai dua, pun yang Ia pesan selalu sama, segelas cappuccino hangat tanpa gula. Aiih, apa pula itu? Mencoba menjadi pujangga ia rupanya. Ia selalu datang tepat pukul delapan dan selalu pulang tepat Lima menit sebelum kedai kami tutup, selalu seperti itu selama seminggu penuh.

Pria itu berpenampilan cukup santai, sepatu putih, jaket Kain dan aksesoris berupa gelang murahan seharga 3000an. Terkadang ia membawa sebuah buku untuk menemaninya minum kopi, terkadang pula hanya duduk berjam-jam mematung menatap ke luar jendela, selalu begitu dan tentu saja selalu sendirian. Pelanggan yang aneh memang.

Entah sudah hari keberapa, bahkan aku sudah lupa kapan pertama kalinya ia mulai datang dan duduk sendirian selama berjam-jam. Satu yang kumengerti, raut wajahnya jauh dari kata bahagia, tatapan matanya kosong, menatap jauh keluar sana. Pun buku yang selalu ia bawa, setelah kuperhatikan beberapa minggu pria ini selalu membawa buku yang sama. Karya sastra yang tidak cukup terkenal bahkan aku sendiri tidak tahu siapa penulisnya. Sebuah buku bersampul hijau pekat, ada sosok pria tua di cover buku itu, buku itu berjudul "Misteri Kematian Edgar Allan Poe".
Buku yang cukup aneh menurutku, lagi pula, siapa si 'Allan Poe' ini?.

Rasa penasaranku tidak berhenti sampai disitu, pada suatu kesempatan aku memutuskan untuk mengantarkan sendiri pesanan pria itu. Bermodalkan berpuluh-puluh pertanyaan di otakku, Aku menghampiri pria yang tengah menatap ke luar jendela itu.

"Selamat malam tuan, maaf karena telah menunggu, ini pesanan anda", aku berusaha se elegant mungkin, ku letakkan secangkir cappuccino panas tanpa gula pesanan nya tanpa bunyi berdenting sedikit pun. Dia tak bergeming, tetap pada kegiatannya menatap keluar melalu jendela di lantai dua.

"Ehm, tuan., jika aku tak salah, kau selalu menatap keluar sana, Apa yang kau lihat sebenarnya?". Kali ini aku langsung bertanya, basa-basi tidak pernah ada dalam kamusku. Namun tetap saja, ia masih bergeming, masih menatap nanar ke luar sana.

Aku tak menyerah,"Ehm tuan, adakah yang mengganggu perasaan mu hari ini? Jika iya, kami para karyawan dari kedai kopi ini, akan dengan senang hati membantu anda". Aku sama sekali tak menurunkan intonasiku, bahkan senyumku tidak pernah lepas dari tempat nya, namun laki-laki yang sepertinya tengah bermuram durja ini sama sekali tak peduli padaku.

Kuputuskan bahwa hal ini akan sia-sia saja, maka tak perlu menunggu lama, aku pamit undur diri,"Well, silahkan nikmati kopi mu tuan, semoga malammu menyenangkan".

Aku segera balik badan dan kembali ke meja bar kedaiku, sebelum suara berat namun tegas menghentikan langkahku.

"Jendela ini indah.."

Aku tertegun, kubalikkan badan ku, menatap dengan tatapan aneh pada pria yang menatap ke luar jendela itu.

"Oh, trimakasih tuan, Kuharap kau juga suka dengan kedai dan kopi buatan kami".

Pria itu tersenyum, namun pandangannya sama sekali tak teralihkan dari jendela itu.,"Aku suka kopi kalian, hanya saja, mau sebanyak apapun kopi yang ku minum, atau setebal apapun buku yang kubaca orang itu tak akan pernah kembali".

Aku terhenti di tempat ku berdiri, terus menatap nya, tak bergeming.

"Kopi ini kesukaannya, buku ini miliknya, ia pergi, aku juga ingin melakukan hal yang sama wahai tuan pemilik kedai, namun tak bisa".

"Aku masih ingin disini mengenang memori-memori memuakkan itu, masih ingin disini, tenggelam dalam keresahanku sendiri".

Aku tak berkutik, lalu tetesan air membasahi jendela di lantai dua itu, awalnya sedikit, lambat laun semakin banyak dan tiba-tiba semuanya basah. Deru air yang menghantam genting kedai kami membuat riuh suasana malam itu, namun tidak dengan pria di hadapanku ini.

Jiwanya sepi, hatinya sunyi, rasanya mati, resahnya telah mulai memperbanyak diri.

***___***

Selepas HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang