Siang ini cerah, tak ada hujan, tak ada panas, bahkan lebih ke suasana yang bisa dibilang sejuk, angin berhembus santai dan burung-burung bernyanyi riang. Cuaca sempurna yang amat sangat jarang terjadi belakangan ini.
Aku berangkat menuju kantor dengan perasaan yang biasa-biasa saja, memang tak sejalan dengan cuaca hari ini, tapi apa peduli ku?, ini pekerjaan yang tidak kuingini dan dengan fakta bahwa dalam kurun waktu Lima hari, aku akan meninggalkan pekerjaan suram ini menjadikan hari yang terbilang cukup indah ini menjadi biasa saja bagiku.
Perjalanan memakan waktu 45 menit, yah memang jarak kantor ke tempatku bekerja memang terbilang cukup jauh,—alasan pertamaku memutuskan untuk berhenti. Belum lagi bila hujan, saluran air yang tak begitu diperhatikan oleh masyarakat sekitar, memilih untuk meluap dan menghasilkan banjir yang cukup parah—dan anggap saja ini alasan keduaku. Maka, ketika aku sampai, aku segera absen, dan menata beberapa barang yang memang harus ditata, bahkan tanpa semangat. Pekerjaanku adalah sebagai seorang Pramuniaga, kau tahu jika kau masuk ke sebuah swalayan akan ada beberapa pria dan wanita yang mengenakan pakaian serupa, lalu mulai berlarian kesana kemari menyambut pelanggan, atau sesekali menerima barang dagangan yang datang dan menatanya di rak-rak yang telah disediakan. Cukup memuakkan bukan? Yah, bahkan akupun merasa demikian, melakukan hal yang tak kusuka demi untuk bisa bertahan hidup. Dunia memang menyebalkan.
Belum sempat ku selesai menata beberapa barang, seseorang memanggilku dari kejauhan.
"Mas.., mas.., sini!", jujur saja, pada awalnya ia adalah seorang pelanggan yang butuh bantuanku untuk mencarikan barang yang ia butuhkan, namun nyatanya tidak, ia adalah salah seorang teman kantorku. Kuhampiri ia, karena kupikir ada beberapa barang yang tak bisa ia jangkau di atas sana, beberapa stok barang memang ditempatkan dirak paling atas. Namun, rupanya bukan karena hal itu, karena ketika aku sampai, beberapa teman kerjaku yang lain mengerumuni seseorang yang sepertinya tengah menangis tersedu-sedu.
Dipenuhi oleh pertanyaan, aku pun bertanya, "Ada apa ik mbak?".
"Itu, mas David, barusan putus sama pacarnya yang anak lantai dua". Ia menjelaskan dengan penuh antusiasme, sedang aku setengah tak peduli, setengah nya lagi tak mau ikut campur.
Ketika aku bersiap kembali ke tempatku mengerjakan tugasku, David melihatku, sial.
Dengan air mata dimana-mana ia menggapaiku hingga Tiba-tiba kini sudah memelukku,"M-m-mas.., aku putus mas...", "brengsek, tanpa kau bilang aku juga sudah tahu, lagipula apa urusan nya denganku?". Umpatku dalam hati tentu.
"Yang sabar mas, yang sabar", ucapku sekenanya, image itu penting bung!.
"Orang tuanya tak setuju denganku mas.., aku harus gimana????". Ucapnya sambil menangis, air matanya menetes dipundakku, terasa basah di sekitar situ tentu saja makanya aku bisa tahu.
"Sabar, mungkin bukan jodoh mas, move on lah". Ucapku seolah-olah masih bersimpati, maksudku coba lihat pria ini!? Ia berusia 5 tahun diatasku, dan kini tengah menangis meraung-raung karena diputus cinta. Aku tak mengerti dengan cara pola pikir orang-orang ini.
Setelah menepuk-nepuk pundaknya, berusaha sebaik mungkin terlihat menenangkan nya, kulepaskan pelukannya—ditambah kini aku mulai merasakan air dingin mulai menggenangi punggungku juga.
Aku berjalan mundur dan membiarkannya di hibur oleh orang-orang yang lain. Beberapa mengucapkan kata-kata membangun, sisanya mengata-ngatai gadis yang telah memutuskan cintanya. Aku hanya melihat nya, kondisi saat ini memaksaku untuk tak berpindah kemana-mana, bukan kah sudah Ku bilang? Image itu penting?. Ia masih menangis, menyesalkan mengapa hal itu terjadi dalam hidupnya dan mengapa tak terjadi pada orang lain saja, hubungan yang kandas karena tak ada restu dari orang tua—yang menurutnya merupakan skenario terburuk dalam hidupnya.
Oh ayolah, ia kekanak-kanakan sekali, belum pernah kah ia menanti seorang gadis yang bahkan tak pernah menoleh ke arahmu? Pernah kah ia berusaha sekeras mungkin namun hanya dianggap angin lalu?, atau atau, pernah kah menyaksikan gadis yang selama ini kau tunggui untuk segera jatuh cinta pada mu, malah justru jatuh kepelukan pria lain dan bukan dirimu, dan yang dengan tololnya kau masih menantinya hingga saat ini?, pernah kah ia? Taruhan satu milliar US Dollar, ia tak pernah mengalaminya.
Orang-orang ini semakin membuatku muak, pada akhirnya aku memutuskan untuk menyingkir dari kerumunan, melanjutkan pekerjaanku. Tetiba, suasana berubah hanya dalam kurun waktu tak sampai limabelas menit, hujan turun dengan deras diluar sana.
Brengsek, Motorku bisa mogok lagi. Ah, sialan, dunia bahkan membenciku. Sama seperti gadis yang masih kutunggu hingga kini, hingga saat ini.
Bangsat!.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selepas Hujan
Short Story"Jeda sejenak selepas rintik, aku pernah menantimu tanpa tanda titik" Kumpulan kisah tentang menunggu, puisi tentang menanti, kisah-kisah selepas hujan dibulan Novemberku, tentang kamu dan tentang penantian tak berkesudahanku. Maka, menunggumu adala...