Letta menggeliat pelan, gelap menyapanya saat ia mencoba membuka matanya. Ternyata hari sudah malam, ia tertidur cukup lama, mungkin karena ia kelelahan menangis. Letta kembali bergerak saat merasakan sebuah lengan melingkari perutnya Letta mencoba mengingat-ingat kejadian siang tadi. Saat Fano keluar dari kamar ini dan meninggalkan ia yang menangisi nasibnya, dia memang tertidur dan tidak mengingat apapun lagi, termasuk ketika Fano kembali lagi ke kamar ini?
Lewat temaramnya lampu yang menyelinap dari balik gorden yang memang belum tertutup sempurna, Letta mencoba meneliti keadaannya. Bajunya sudah berganti dengan piama sutra maroon, entah siapa yang sudah mengganti pakaiannya? Letta tidak lagi peduli saat perutnya dengan lancang berbunyi.
Rasanya ia ingin mengutuk perut sialannya, tapi apa mau dikata. Pura-pura kuat itu butuh tenaga dan Letta ingat terakhir kali mengisi perutnya adalah tadi siang, ketika ia bersama Langit dan Astaga! Sekarang sudah hampir tengah malam. Dan dari sore hingga tengah malam begini pun ia belum mengisi apapun lagi ke dalam lambungnya, ini dikarenakan dirinya yang tidur seperti orang pingsan.
"Aku ... aku lapar, aku ingin makan." Letta memberanikan diri bicara takut-takut pada pria yang masih memeluknya, takut mengganggu Fano tidur, ia ingin langsung beranjak tapi mana bisa kalau Fano memeluk dirinya seperti ini. Letta berusaha melepaskan rengkuhan tangan pria di belakangnya namun Fano malah merapatkan pelukannya pada Letta, semakin erat.
Menempelkan wajahnya pada leher Letta dan pria itu mulai bergumam. "Hhhmmm." Mata Fano memang terpejam, dan Letta tahu jika Fano tidak sedang tidur, terbukti dari napasnya yang berat berhembus di lehernya. Membuat Letta kembali meremang karenanya.
Letta mencoba membuka lilitan tangan Fano untuk yang kedua kalinya. "Le .. lepas dulu, aku ... aku lapar!" Ketika untuk yang kedua kalinya Letta mengutarakan keluhannya barulah Fano melepaskan pelukannya. Dan Letta mulai bisa bernapas lega saat pria itu mulai menjauhkan tubuh menempel mereka tanpa berbicara apapun dan memilih tetap berbaring namun dengan posisi membelakanginya.
Letta tidak mempedulikan pria itu, perutnya yang lapar sudah berontak, meminta segera diisi, maka dari itu Letta lekas turun dari ranjang dan mulai keluar dari kamar Fano tanpa berniat berbicara apapun lagi kepada lelaki itu.
Menuruni tangga, Letta langsung berjalan menuju dapur, semoga saja masih ada makanan yang bisa dimakan olehnya. Mengingat ini sudah tengah malam, ia sendiri malas kalau harus meminta makanan pada Fano langsung.
Letta membuka lemari pendingin saat sudah di dapur, mencari apa saja yang ada di sana. Ia menghela napas panjang saat hanya menemukan barisan susu kotak dan juga jus jeruk. Karena sangat kelaparan, Letta mengambil satu kotak susu UHT dan membawanya ke meja makan. Untung saja di sana masih ada beberapa lembar roti tawat. Makanan pengganjal perut yang sangat tepat jika disatukan dengan susu. Memakan makanan yang Letta temukan di dapur Fano seadanya, ia segera melahapnya, meski hanya selembar roti dan segelas susu rasanya sudah cukup untuk mengisi lambungnya. Ketika semua ritual makannya sudah cukup selesai Letta membereskan samuanya dan kembali ke kamar lagi.
Saat di kamar Letta masih melihat Fano bergelung dengan selimut tebalnya. Melihat pria itu sekilas Letta lagi-lagi tidak mempedulikannya, sejujurnya ia merasa risih berada dalam satu kamar bersama Fano, tapi apa boleh dikata, rumah ini milik pria itu. Letta tidak berhak mengatur apa pun yang diinginkan Fano, salah-salah ia malah kembali diperlakukan kasar.
Letta menyalakan lampu utama, menutup semua gorden karena melihat gorden itu belum ditutup. Setelahnya Letta memilih menuju kamar mandi. Ia belum mandi, dan ia tidak akan bisa tidur dalam keadaan tubuh lengket seperti ini.
***
Fano membuka matanya saat merasakan gerakan kecil yang dilakukan Letta. Setelah menemukan Letta meringkuk di atas lantai ketika ia masuk kembali ke dalam kamar Fano sedikit merasa bersalah. Seharusnya ia tidak berlaku sekasar itu hanya karena Letta diantar pulang oleh pemuda sialan ity. Tapi entah kenapa emosi menguasai diri Fano saat melihat Letta tertawa lepas dengan lelaki itu sedang saat bersama dirinya hanya ada wajah terluka dan sorot kebencian yang ditujukan pada Letta untuknya. Fano mengeratkan pelukannya pada Letta hingga ia mendengar perut Letta yang keroncongan. Saat Letta meminta dirinya untuk melepaskannya, meski enggan Fano akhirnya melepaskan pelukannya. Fano lebih memilih tetap bergelung di dalam selimut sampai Letta kembali dan entah apa saja yang dilakukan gadis itu? Padahal Fano sudah menunggunya, tapi suara gemericik air membuat Fano mau tak mau membuka matanya. Duduk bersandar dan menatap pintu kamar mandi yang tertutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
a bad purpose (END)
RomansaDia tidak suka ditolak, selama ini tidak ada yang pernah menolaknya. Fano (Djunistio Zefano Ardolf, 25 tahun) memiliki segalanya, hidupnya nyaris sempurna. Wajah tampan, kehidupan yang serba ada dengan teman dan juga wanita yang selalu mengejarnya...