Satu

167 31 10
                                    

       Gadis bersurai hitam sepinggang itu tersenyum getir, manik cokelat madunya terfokus pada gawai di genggaman, memandang sebuah foto seorang pria yang mengenakan kaus putih polos, dipadu celana jeans biru dongker sebatas lutut, tampak tersenyum manis di depan kamera. Jantungnya masih saja berdebar tiap kali mendengar nama pria itu disebut, atau sekadar melihat fotonya.

Sudah tiga tahun, akan tetapi perasaannya 'tak kunjung redup, kian bertambah setiap hari sampai 'tak bisa dihentikan lagi. Hatinya belum jua mampu untuk melupa, belum sanggup ikhlas untuk melepas, meski 'tak pernah berkesempatan memiliki. Berbagai macam cara telah ia lakukan, tetapi hasilnya sama saja; nihil.

Pria itu masuk terlalu dalam di hatinya, sehingga sangat sukar untuk menghapus namanya yang tertanam di dasar kalbu.

Surai hitamnya melambai mengikuti irama angin, pipinya basah membuat aliran sungai, tangannya terulur menepuk dada untuk meredamkan denyut nyeri. Pikiran gadis itu melayang, mengingat kembali bahwa teman masa kecilnya lebih memilih mencintai wanita lain, ketimbang dirinya yang selalu berada di sisi pria itu, melakukan yang terbaik sebisanya. Namun, semesta seolah 'tak ingin jika ia bahagia bersama pria yang dicintainya.

Bagaimana perih menggerogoti setiap waktu, ketika saban hari pria yang ia cinta mengumbar kemesraan di hadapannya bersama sang kekasih. Ibarat bunga, mungkin hatinya telah mati sebelum tumbuh bersemi.

Derap langkah yang menggema, menyadarkan gadis itu dari lamunan, segera saja ia hapus bulir bening yang tersisa dengan tisu, lalu memasukkan gawai ke dalam tas. Memejamkan mata, mencoba menenangkan diri setelah selesai menangisi pria yang tidak membalas cintanya.

Inilah sifat asli dari gadis itu, ketika dibalut sepi nan sunyi ia akan meluapkan sesak yang sudah tidak terbendung lagi. Tersedu di kesendirian seperti sekarang ini.

"Kak Rain, kami datang!" Gadis itu membuka mata, tampak tiga orang gadis seusianya berjalan mendekat, bibirnya melengkung membentuk senyuman.

Satu di antaranya paling heboh, ia sedari tadi melambaikan tangan disertai senyum yang 'tak lepas dari bibirnya, gadis berambut mirip dora dengan pemanis bandana pink ini bernama Sari.

Di sebelah kirinya, gadis dengan surai hitam sebahu hanya geleng-geleng kepala, melihat tingkah salah satu keluarga gajenya tersebut, yang kerap kali mengundang banyak perhatian dari orang-orang. Namanya Lala, sedikit lebih pendiam dari yang lain.

Di samping kanan Sari, gadis berkulit putih susu yang bernama Maya, hanya bisa tersenyum memaklumi kelakuan sahabatnya, bukan hal baru lagi jika seorang Sari memang hiperaktif.

Ketiganya duduk mengelilingi Rain, beberapa kantong kresek berisi jajan terdampar di atas meja. Sari, gadis itu segera mengambil snack kentang bertabur keju favoritnya, langsung melahap tanpa embel-embel menawari. Yang lain hanya tersenyum simpul, sudah paham akan kesenangan Sari terhadap makanan, lebih-lebih jajanan ringan.

"Eh, kapan-kapan kita jalan kuy, ke taman yang lagi nge-trend itu loh." Netra Sari berbinar, menatap satu persatu orang di hadapannya, yang ia anggap seperti kakak sendiri.

"Boleh, siapa tahu kita nemu cogans di sana," sahut Rain sembari menyesap teh es.

Gadis dengan tahi lalat di pinggir bibir, menatap Rain sanksi. "Cogans terus yang dicari."

Sontak membuat Rain dan Sari tergelak, memang pantas Lala sedikit cemburu, sebab di antara mereka dialah yang dilarang dekat-dekat dengan lelaki.

Bahu Sari ditepuk, ketika menoleh langsung bersitatap dengan Maya yang tengah mengulum senyum. "Ngomong-ngomong soal cogans, di rumah cogans-mu lagi sakit tuh, Sar."

LUCE MIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang