Rumah yang terkadang sepi itu, kini ramai oleh celotehan dua gadis yang mengaku sebagai kembaran, diselingi suara krenyes-krenyes dari camilan yang mereka lahap. Denting sendok yang beradu dengan gelas memenuhi ruang tamu, Rain masih setia memutar jari di minumannya, tanpa berniat untuk menegak hingga habis. Dua sudut bibirnya tertarik ke atas, sesekali gadis itu tertawa kecil.
Sari menyenggol bahu gadis di sampingnya, mereka saling tatap setelah beberapa menit mengamati tingkah Rain, seperti pasien depresi yang kehabisan obat.
"Kak, sehat 'kan?" tanya Lala, menjatuhkan pandangan pada gadis di depannya yang masih tersenyum aneh.
"Kelewat sehat itu mah," celetuk Sari, yang langsung mendapat pelototan Rain.
Rain akhirnya menyesap teh sampai tandas yang sedari tadi diaduk, mengabaikan pandangan heran dari dua gadis di depannya.
"Aku sudah kerjain PR tadi malam." Tangan Rain mengambil sebuah buku bersampul batik berwarna ungu, lalu menyerahkannya pada Sari. "Nih, kalo mau lihat caranya."
Maya yang sedari tadi mengamati buka suara, menatap penuh minat pada Rain. "Gimana? Pendekatan sama Abang sudah sampai mana? Ada peningkatan gak?"
"Ya, masih gitu-gitu aja sih." Gadis itu sedikit salah tingkah, dan memilih menatap lantai marmer ketimbang Maya.
"Ah, masa sih? Terus itu ketawa kayak orang gila karena apa?" Gadis berambut dora memandang Rain penuh selidik, mencari apa yang tidak diketahui olehnya. Sari yakin, kakaknya itu pasti menyembunyikan sesuatu darinya.
Baru saja gadis itu membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Sari. Tiba-tiba pintu diketuk, 'tak berapa lama dua orang cowok masuk, karena memang pintunya tidak ditutup. Cowok dengan tinggi badan ideal, serta kulit hitam manis itu tersenyum, ia berjalan mendekat ke arah gadis-gadis, yang masih menatap mereka dengan ekspresi sedikit terkejut.
"Om Dave, siapa tuh?" Rain pertama kali bertanya, menatap sinis ke arah cowok tinggi, badan sedikit berisi, dengan kulit sawo matang di samping Dave.
Dave menepuk bahu temannya, menatap manik cokelat Rain masih dengan senyum. "Oh ini, namanya Suwosai doyan banget sama komik isekai."
Mereka duduk mengelilingi meja bundar di tengah ruangan itu, makanan ringan yang tadi berserakan sudah dipindahkan oleh si kembar KW, diganti dengan buku-buku.
Disela kegiatan menulis, Lala sudah 'tak bisa membendung rasa ingin tahunya terhadap teman Dave. "Om Suwo orang jawa, ya?"
Suwosai tersenyum kikuk, kepalanya mengangguk meski begitu ia tetap menjawab, "Iya, ane orang Jawa."
"Pantes keliatan banget." Lala manggut-manggut, lalu meneruskan kegiatannya kembali, jiwa penasarannya sudah terobati.
Tidak ada satu pun kata yang keluar dari mereka, hanya terdengar detak jam dinding yang memenuhi ruangan. Rain, gadis itu sesekali mengembuskan napas kasar, netranya menyorot malas, ia tidak suka keheningan.
Dave, pandangan cowok itu jatuh pada gadis di sampingnya. Dave menegakkan tubuh, berhenti bertopang pada pulpen. Netra cowok itu memerhatikan sekeliling, masih berkutat pada buku masing-masing. Sudut bibirnya tertarik ke atas, waktunya melancarkan serangan.
"Cowok!" Rain terlonjak kaget, Dave sengaja menyikut pinggang gadis itu, seolah ada dendam tersembunyi.
Seketika pandangan mata tertuju pada orang yang menimbulkan keributan. Kerutan di kening menjadi tanda bertanya tanpa harus mengeluarkan kata, 'Ada apa?'.
"Cowok terus yang dipikirin." Dave menatap gadis di sampingnya sinis.
"Dih apaan, cuma kaget doang itu," sangkal Rain menatap balik cowok itu lebih ganas.

KAMU SEDANG MEMBACA
LUCE MIA
JugendliteraturPerihal cinta, yang ketika tidak berbalas hanya harus ikhlas, bukan terpaku pada melupa. Rasa itu ada, memberi warna bukan untuk membuat lemah 'tak berdaya. Sebaliknya, ia hadir untuk memberi pelajaran, tentang bangkit setelah terjerembap pada kete...