Tiga

71 18 12
                                    

      Beberapa kali Rain menatap pantulan diri di cermin, hari yang sangat dinanti-nanti oleh gadis itu telah tiba, saat di mana ia dan Dirga akan berjumpa. Setelah merasa riasannya sudah cukup, 'tak mau buang-buang waktu ia langsung berangkat ke tempat mereka janjian.

Gadis itu duduk di bangku, rambut panjangnya ia kuncir dengan jepit berwarna ungu sebagai pemanis, sesekali manik cokelat madu itu menatap ke sekeliling. Tidak terlalu ramai untuk ukuran taman yang biasanya selalu dipenuhi orang-orang. Rain mengembuskan napas bosan, sepertinya terlalu awal untuk janji temu. Ia merogoh tas, mengambil gawai dan lebih memilih berselancar di media sosial, mumpung jaringan lagi lancar.

Tanpa ia duga, seorang lelaki yang mengenakan kemeja biru tangannya digulung sebatas siku, dipadu celana hitam polos, berjalan ke arahnya. Rambut pirang lelaki itu berkibar ditiup angin, mengikuti irama langkah kakinya yang semakin mendekat, pada gadis yang berkutat dengan benda segi empat miliknya.

Lelaki itu tahu bahwa gadis yang duduk sendirian di depannya, adalah gadis yang dimaksud oleh temannya. Ia sempat melihat wajah gadis itu dari sebuah foto pemberian Maya.

"Hai, maaf menunggu lama."

Suaranya lembut bagai alunan nada yang begitu syahdu, menggetarkan relung kalbu, ah lebay. Rain menoleh, senyum manis langsung menyambutnya, disertai tatapan yang mampu membius gadis itu dalam keterpesonaan.

"Ah, iya gak papa, santai aja." Rain menutupi kegugupan yang melanda lewat senyuman, jantungnya kembali berpacu lebih cepat. Wajar gadis itu merasa grogi, sebab ini kali pertama ia berkenalan dengan seorang pria asing, secara privat.

"Salam kenal ya, aku Dirga Mananta." Lelaki itu mengulurkan tangan, masih dengan senyum menawan.

"Salam kenal kembali, Raina Azalea biasa disapa Rain." Gadis itu membalas uluran tangan Dirga, sedikit gemetar tapi masih bisa diatasi.

"Rain, Abang panggil Nana boleh, ya?"

Rain menatap lelaki itu sejenak, seolah terpaku pada wajah kalemnya. Bulu mata lentik yang melambai tiap kali ia berkedip.

"Boleh, lagian 'Rain' terlalu flat."

Dalam hati, Rain bersorak gembira, ada seorang lelaki tampan dengan baik hati akan memanggilnya Nana. Dari dulu hingga sekarang, ia memang sangat ingin dipanggil dengan sebutan tersebut. Namun, sayangnya tidak ada yang memanggil seperti itu, karena sudah terbiasa dengan panggilan Rain atau pun Hujan.

"Hm ... Abang sama Teh Maya itu saudaraan kah?" Ragu-ragu Rain bertanya, iris cokelatnya semakin berkilau diterpa cahaya matahari senja.

Sumpah, mencari sebuah topik pembicaraan itu sulit. Rain yang terbiasa cuek, akhirnya memahami perjuangan seorang pria, yang mati-matian mencari pembahasan agar komunikasi tetap lancar.

"Teteh? Maya 'kan baru berumur 17 tahun lebih muda dari sahabatnya." Lelaki itu menatap Rain dengan kening berkerut, kemudian melanjutkan, "Ah, enggak, tapi dia sudah kuanggap adik kandung sendiri."

"Itu panggilan kesayangan kami untuk dia." Rain menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal, tidak berani bersitatap dengan lelaki di sampingnya itu.

"Mau jalan-jalan?" Seketika Rain mengangguk setuju.

Mereka berkeliling, disertai canda dan tawa. Keduanya terlihat sangat bahagia, persis seperti pasangan yang sudah lama tidak berjumpa, saling melepaskan rindu masing-masing.

Dari kejauhan, ada beberapa pasang mata yang terus memerhatikan mereka di balik semak-semak.

"Duh, jangan injak kaki aku dong Sar, sakit!" gerutu Lala, kakinya menjadi sasaran Sari, karena gadis itu terlalu antusias mengintip perkembangan hubungan Rain, padahal masih awal pendekatan.

LUCE MIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang