Lima

60 16 7
                                    


    Netra cokelat madu itu terpaku, menatap sosok yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, dengan alat infus terpasang di tangan kanannya. Tanpa suara gadis itu melangkah mendekat, lantas duduk di kursi yang tersedia di samping lelaki itu. Rain membelai rambut pirang yang sedikit berantakan Dirga dengan lembut. Ia raih tangan lelaki itu, lalu menempelkan ke pipi, matanya mengamati wajah rupawan Dirga yang pucat pasi.

Sesaat Rain dapat menghela napas lega, keadaan Dirga sudah dinyatakan lebih baik. Kata dokter, lelaki itu hanya kurang asupan energi, pun kondisi psikisnya yang sedang tertekan.

Rion serta Maya menunggu di luar, mereka 'tak ingin mengganggu waktu Rain dengan lelaki itu. Kekhawatiran yang begitu kentara, serta air mata sudah cukup membuktikan, bahwa lelaki bernama Dirga itu cukup istimewa di hati Rain.

"Cepat sembuh, Bang." Gadis itu mengecup tangan Dirga, masih belum ada tanda-tanda ia akan sadar.

"Abang harus sembuh, yang semangat. Ada banyak orang yang mencemaskan Abang, salah satunya aku." Bulir bening kembali menggenang di pelupuk mata, Rain menggigiti bibir bawah untuk meredam tangis. "Aku emang bukan siapa-siapa, aku sadar itu. Tapi aku mau semangatin Abang, ini bukan pencitraan atau sekadar cari perhatian, ini pure dari hati aku yang terdalam."

Untuk pertama kalinya, gadis itu sebegitu rapuh karena seorang lelaki, terlebih kenal baru beberapa hari. Rasanya ia 'tak mampu menahan air mata yang akan menetes. Hati gadis itu pilu menatap bibir pucat Dirga, tidak ada senyum manis yang biasa terpatri di sana.

"Jangan cengeng! Dia pasti gak suka lihat kamu nangis, terlebih karena dia." Suara lembut nan halus menyapa, Rain menoleh dengan genangan air mata yang sudah membanjiri pipi. Tubuhnya bergetar, gadis itu menangis tanpa suara, lagi.

"Ayo pulang, besok kita masih harus sekolah," ajak Rion, mendaratkan usapan lembut di pucuk kepala gadis itu.

Rain menggeleng pelan, ia tidak ingin meninggalkan Dirga barang sedetik pun, ia harus menemaninya sampai lelaki itu sadarkan diri. Rain tidak tega meninggalkannya sendirian, terlebih dalam keadaan sakit seperti ini.

Rion menarik napas berat, kedua tangannya menangkup wajah gadis itu, menghapus sisa air mata Rain dengan ibu jarinya. "Rain, besok kita masih bisa ke sini lagi sehabis pulang sekolah." Matanya melirik Maya yang berdiri di depan pintu sekilas. "Maya juga nanti akan ngasih kabar kalau dia sudah sadar."

Maya melangkah menghampiri mereka, senyum simpul tersungging di bibirnya. Gadis itu mencoba meyakinkan. "Iya Rain, lebih baik kamu pulang. Entar, kalau Dirga sudah sadar, Teteh pasti kasih kabar kok."

"Janji yah langsung kabari aku kalau Abang sudah siuman," ucap Rain, yang dijawab anggukan kepala oleh Maya.

Dengan berat hati Rain menuruti kemauan mereka, jujur saja keinginan tetap berada di samping Dirga untuk menemani sampai nanti lelaki itu membuka mata masih ada, tapi apalah daya.

Rion menuntun gadis itu menuju parkiran, yang rasanya lebih jauh beribu-ribu kilometer, mungkin karena gadis itu masih tidak rela beranjak dari sana. Sesekali Rain menoleh ke belakang, entah apa yang gadis itu lihat.

Rain duduk di samping kemudi, bersebelahan dengan Rion. Pandangan gadis itu terpaku pada jalanan di luar kaca mobil, pikirannya berada jauh di dimensi lain.

Mereka ... pulang.

~

    Pikirannya masih dipenuhi oleh Dirga, bagaimana keadaan lelaki itu sekarang? Apakah sudah sadar? Hanya dengan memikirkan dua pertanyaan 'tak terjawab itu, sudah membuat Rain ingin cepat-cepat pergi ke tempat Dirga. Matanya menatap seragam sekolah, andai tadi pagi ia memilih kabur ke rumah sakit daripada ke sini. Gadis itu mengembuskan napas pasrah, mencoba bersabar menunggu kabar dari Maya. Sembari berdoa akan kesembuhan lelaki itu.

LUCE MIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang