PROLOG

15 3 0
                                    

Plakkk.

"Mulai berani kamu melawan aku, ha?", Bentak Wira setelah menampar istrinya. Hana tak mau kalah, ia terus melawan penyataan dari suaminya dan semakin terisak.  "Aku? Bukan cuma aku yang salah, kamu juga!".

"Kamu salah! Kamu gagal mendidik anak sendiri! Kamu selalu menyibukkan diri!", Emosi Wira terus meluap, rasanya ia ingin menamparnya lagi. Tidak. Ia ingin meninjunya.

"Aku? Menyibukkan diri? Kamu yang gak pernah memberi perhatian untuk keluarga kamu! Kamu yang selalu sibuk dengan pekerjaan kamu!". Hana mengusap pipinya yang semakin basah, agar ia tetap kuat di hadapan suaminya, untuk memperjuangkan anak-anaknya. "Agita memang masih kecil, dia tidak mengerti apa-apa. Tapi Alisha beda, dia sudah besar! Kamu gak pernah mengerti sesakit apa hatinya Alisha, terutama ketika aku dan Agita menginap ke rumah ibu. Alisha melihat semuanya di ruang tamu! Kamu dengan perempuan itu...",

Plakkk.

Tamparan Wira terasa lebih keras dari yang sebelumnya Hana rasakan. Pipinya memanas. Tangan Hana masih memegangi pipinya. Perlahan ia mendudukan tubuhnya di lantai. Air mata masih membanjiri pipi Hana.

Dari sudut lain, tepatnya di pintu masuk rumah tersebut, Agita yang memakai seragam berwarna putih-merah, rambut yang dikucir satu, serta ransel yang bergambar barbie, ia masih meneliti kejadian apa yang baru ia saksikan tadi.

Mama tercintanya terduduk lemas dengan air mata yang masih keluar dari matanya. Kakak perempuan satu-satunya masih terduduk di kasur kamarnya dengan tangan yang menutup mulut, menahan isakan tangisnya, merasa bersalah besar atas apa yang ia lakukan. Serta papa nya yang masih mengepalkan tangannya, masih memelototi istrinya, seakan api yang sedang membara dalam dirinya tidak akan pernah bisa padam.

Agita yang baru pulang dari sekolah itu masih mematung di tempatnya. Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya. Suaranya terdengar berat. Badannya bergetar ketakutan. Dengan mata yang berkaca-kaca, "Mama...".

Mendengar suara putri bungsunya itu, Wira dan Hana dengan cepat menyadari bahwa Agita baru saja pulang dari sekolahnya. Dengan gerakan yang cepat, Wira menggusur Agita dengan menarik tangannya, "Sini kamu, sini!". Suara keras Wira yang membentak itu belum pernah Agita dengar. "Papa! Gak mau! Gita...Gita gak mau!", Teriak Agita yang mengartikan perlawanan terhadap tindakan papa nya. "Melawan juga kamu? Seperti mama kamu? Iya, ha?"

Buggg.

Tinjuan yang cukup keras mendarat di sudut bibir Agita. Setelah itu, Wira melanjutkan tindakannya pada Agita. Ia menggusurnya ke WC. Hana mengejar Wira. Namun terlambat. Wira sudah di dalam bersama Agita dan tentu saja ia mengunci pintunya.

"Wira!!! Buka pintunya!!! Agita gak pernah salah apa-apa!!!", Teriak hana dengan tangisan yang semakin menjadi, sembari memukul keras pintu WC itu.

"Anak cengeng!!! Bisanya merengek terus!!!", Bentak Wira di dalam WC.

Guyuran demi guyuran air semakin jelas terdengar. Bersamaan dengan teriakan tangisan Agita.

OUR HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang