Jumlah orang di kerumunan tengah jalan di malam hari saat itu semakin banyak, mereka berteriak dan ada yang mengangis, sebagian memotret, dan sebagian lagi berbisik-bisik dan aku bersumpah tidak tertarik dengan apa yang mereka lakukan. Polisi berdatangan dan petugas medis mulai mengevakuasi seorang wanita yang berlumuran darah karena tertabrak mobil. Gaun merah selutut dan sepatu ber-hak kira-kira enam senti tersisa di kaki kirinya, kaki kanannya tampak terluka dan mengeluarkan banyak darah. Orang-orang mulai menyingkir dan satu per satu dari mereka menghilang, pergi, bahkan mungkin bersiap membuat cerita untuk teman-teman mereka.
Malam kian gelap dan sisa-sisa tabrak lari tiga jam sebelumnya mulai pudar. Aku melanjutkan perjalananku yang tertunda sekitar lima jam, kembali berdendang mendengarkan lagu-lagu kesukaanku. Aku bahkan melupakan kejadian tadi, tak ingin tahu dan tak peduli.
Setelah tiga puluh menit kuhabiskan waktu di jalanan lengang, aku memarkirkan mobilku di garasi kecil rumah ini. Ah aku rindu. Kubuka pintu dan kuhirup aromanya, betul-betul memuaskan dahaga hanya dengan menghirupnya saja. Aku mulai berkeliling, menyalakan lampu, dan membuka kain-kain penutup barang. Sungguh malam yang menyenangkan.
Suara burung hantu membuatku tertawa, kesunyian rumah ini membuatku tergelak dan mengingat-ingat betapa hangat dulu disini. Malam-malam seperti ini akan ada yang membuatkanku cokelat panas atau setidaknya teh hangat ketika kami kehabisan cokelat, lalu dia akan memelukku seraya mengatakan dia menyayangiku. Bahkan dia tak akan beranjak dari sisiku sebelum aku terlelap.
Keindahan-keindahan semacam itu terkikis waktu ternyata, dimakan usia, terhimpit ruang, dan terlupakan karena jaman. Aku tertawa lagi, tertawa dan tertawa hingga tak sadar pipiku basah karena air mata.
Tapi tunggu sebentar, untuk apa aku menangis, siapa yang aku tangisi? Dia? Hidupku akan sangat lucu jika menangis hanya karena merindukannya. Bodoh sekali apabila benar dia alasannya. Dia yang meninggalkanku, dia yang memberiku luka, dia yang... aku tertawa lagi. Terlalu banyak kepahitan yang bisa menjadi alasan kenapa aku tidak harus dan sangat hina untuk merindukannya.
Waktu bergerak, dini hari aku masih duduk di tempat yang sama. Sofa cokelat dengan aroma yang tak pernah hilang. Pintuku diketuk, terdengar beberapa orang bersuara berat berbicara. Memang orang bodoh macam apa yang berkunjung ke rumah sepi yang sudah dua tahun tidak ditinggali, terlebih ini pukul dua dini hari?
Aku bergegas menghampiri jendela dan mengintip lewat celah gorden, ada empat orang laki-laki dengan pakaian jaket hitam, semuanya memakai topi dan... mereka tampak seperti orang-orang yang kulihat beberapa jam sebelumnya.
Pisau bermata tajam berwarna perak sudah siap, batinku. Kubuka pintu dan ku sapa mereka. Terlalu banyak pembicaraan dan pertanyaan, dan selama itu aku tidak menjawab apapun, aku diam menatap mata mereka satu per satu.
"mari, anda berhak menjelaskannya di kantor!"
Kalimat terakhir yang keluar dari laki-laki pendek bertubuh gempal itu membuatku sedikit membelalak. Dan dia meminta pertolongan setelah ku tikam jantungnya. Satu orang disana berusaha menolong, dan dua orang lainnya mengejarku yang berlari ke dalam rumah. Mereka berteriak-teriak dan mengancamku, katanya mereka akan menembakku. Ah lucu sekali.
Aku bersembunyi di dalam lemari baju di kamarku, ketika mereka berdua sama-sama membuka pintu lemari, kuhujamkan pisau perakku di salah satunya sedangkan orang disebelahnya langsung terkapar tak berdaya setelah aku merobek mata kirinya dengan hanger besi. Sial! Kamarku penuh darah.
Matahari bersiap muncul diantara awan-awan tepat disaat aku selesai membereskan kekacauan semalam. Betul-betul melelahkan. Melihat bercak-bercak darah yang menempel di baju putihku, aku jadi teringat mama.
Malam tadi ku ajak dia berkeliling kota dengan alasan hanya menikmati masa-masa terakhir. Tapi aku benci suasananya. Mama cemberut dan terlihat benci padaku. Aku terus bertanya kenapa dua tahun terakhir ini mama menghilang, mengapa mama meninggalkanku di neraka yang mama sebut sebagai ladang uang, mengapa mama tega, dan mengapa-mengapa lainnya yang keluar secara jelas dari mulutku, tapi mama diam dan kelihatan semakin benci padaku. Lantas berteriak dengan suara serta kalimat yang sangat menyakitkan,
"Aku tidak pernah menganggapmu sebagai anak, Denisa! Kau pengganggu dan aku membenci ayahmu!"
Kupastikan itu kalimat terpanjang yang dia ucapkan di akhir hidupnya. Pisau perakku menembus telapak kaki kanannya setelah sebelumnya kuhentikan mobil di kegelapan. Dia berteriak kesakitan dan kulepas heels yang dipakainya lalu kutancapkan di atas kepalanya. Darah dimana-mana dan itu membuatku muak. Aku membopong mayat itu sendirian dan kuletakkan begitu saja di tengah jalan, lalu aku memutar arah mobilku sehingga jauh dari mama tetapi tetap bisa melihatnya. Sampai akhirnya banyak pengendara berhenti dan orang-orang mulai berdatangan.
Hari yang indah.
YOU ARE READING
KUMPULAN CERITA PENDEK
Cerita Pendekbag 1 ... Aku bersembunyi di dalam lemari baju di kamarku, ketika mereka berdua sama-sama membuka pintu lemari, kuhujamkan pisau perakku di salah satunya sedangkan orang disebelahnya langsung terkapar tak berdaya setelah aku merobek mata kirinya den...