MOON; Choice

62 4 4
                                    


Tokyo, 13 Nov 2018

Arumi menarik nafas panjang, musim dingin kali seakan membuatnya membeku. Dia melangkahkan kakinya secepat mungkin menuju apartemennya. Otaknya berpikir tentang ramen dan telur setengah matang diatasnya, ah perutnya seakan berteriak kelaparan. Dia mendekap erat tas ransel yang sudah dibawanya dari pagi. Jaket tebal miliknya masih kurang bisa meredam rasa dingin yang menusuk masuk kekulitnya. Pikiran Arumi beralih lagi dari ramen menjadi ingatan tentang desakan atasannya tentang rancangan baju pernikahan yang harus diselesaikannya dengan waktu tiga hari ini. Sial umpat Arumi dalam hati.

"Rumi-san!"

Tepukan dipunggungnya membuat Arumi terlompat kaget dan melihat kebelakang. Haruka Katsuki tersenyum lebar menatap Arumi yang hampir pingsan karenanya.

"Oneesan!" Kata Arumi ketika sudah mengenali siapa yang membuat jantungnya hampir keluar.

Haruka tertawa melihat ekspresi Arumi yang paling benci jika dikejutkan, terutama olehnya. Haruka meniup tangannya dan menggandeng Arumi, "Kau pulang malam lagi?" tanyanya kemudian.

"Ya begitulah, mau bagaimana lagi." Jawab Arumi sambil mempererat pegangannya pada Haruka. "Oneesan, berhentilah mengagetkanku. Oneesan kan tahu aku paling takut jika jantungku copot keluar dari mulutku." Gerutu Arumi.

Haruka mendecakkan lidahnya, "Kau berlebihan. Sudah berapa kali aku melakukan ini yang keluar bukan jantungmu tapi ocehanmu itu." Katanya.

Arumi hanya menggelengkan kepalanya melihat wanita disampingnya ini. "Oneesan, bagaimana kabar Kou-san?" Tanya Arumi.

"Kou? Aku sudah tidak berhubungan dengannya lagi. Pria brengsek itu pergi dengan seniorku kampus." Jawab Haruka sambil tersenyum sinis.

Arumi menghela nafasnya, "Ternyata yang ku lihat kemarin memang Kou-san." Gerutu Arumi.

"Sudahlah, pecundang memang selalu bersenang-senang duluan."

"Lalu menyesal kemudian." Timpal Arumi.

Haruka hanya terkekeh, "Kau mau ramen? sambil mendengarkan ocehan wanita patah hati sepertiku. Bagaimana?"

"Dengan senang hati." Jawab Arumi sambil tersenyum. Arumi memang selalu menjadi pendengar yang baik selama ini bagi Haruka. Sudah berkali-kali dia mendengarkan keluhan patah hati wanita ini. Sudah berkali-kali juga dia menyajikan bahunya untuk Haruka yang menangis setelahnya. Persahabatan mereka memang belum berlangsung lama, hanya berlangsung sekitar 6 bulan setelah Arumi pindah ke apartemen ini. Haruka lebih tua dari Arumi sekitar 3 tahun, dia bekerja sebagai model. Tentu saja pekerjaan itu sangat cocok untuk Haruka yang memiliki paras sempurna bagi Arumi, dengan tinggi semampai, mata kecoklatan yang berbeda dari wanita jepang pada umumnya, serta wajah cantik penuh senyuman hangat siapapun pasti akan menyukai Haruka.

Mereka berdua tiba di apartemen, dan menuju lantai tiga. Kamar Arumi dan Haruka bersebrangan. Dilantai 3 ini hanya ada 4 kamar yang dihuni Haruka, Arumi, seorang pemuda bernama Arima yang merupakan mahasiswa di Universitas Tokyo, dan ada sepasang suami istri. Arumi dekat dengan orang-orang itu, baginya mereka seperti keluarganya terlebih sekarang dia jauh dari kampung halamannya yaitu Indonesia.


Arumi masuk kekamar Haruka yang penuh dengan nuansa pink penuh dengan pernak-pernik berbeda sekali dengan kamar Arumi yang terkesan sederhana. Arumi menggantungkan jaketnya dan merebahkan punggungnya di kursi. Haruka ikut merebahkan punggungnya sambil mengurut-urut pelipis keningnya.

"Rumi-san, aku tidak habis pikir Kou bisa mengkhianatiku seperti ini." Kata Haruka.

Arumi melirik kearah Haruka, "Oneesan, sudahlah." Arumi bangkit dari kursinya, "Sekarang bantu aku masak ramen. Aku lapar-lapar." Tarik Arumi.

Haruka membiarkan tangannya ditarik, dia bangkit dari kursinya dan menuju kearah dapur bersamaan dengan Arumi. Dia menghela nafasnya panjang, mengalihkan pikirannya sendiri dari pikiran sendu patah hati.

Setelah selesai membuat ramen Arumi dan Haruka duduk di meja makan, "Itadakimasu!" Kata Haruka dan Arumi serentak.

"Rumi-san, sampai kapan kamu bersembunyi dari keluargamu?" Tanya Haruka.

Arumi mengangkat bahunya, "Entahlah, aku belum bisa menerima soal perjodohan itu." Jawab Arumi.

"Kenapa tidak kau tolak saja?"

"Tidak segampang itu oneesan," Kata Arumi melirik kearah Haruka.

"Itu pasti karena kau tidak memiliki kekasih sampai sekarang, makanya ayahmu memilih untuk menjodohkanmu."

"Jodoh itu ditangan Tuhan, dan aku menyerahkan semuanya."

"Benar, tapi kau tidak berusaha mencarinya."

"Hm," gumam Arumi "Aku masih ingin menikmati kesendirianku." Jawab Arumi.

"Apa aku harus mengenalkanmu dengan beberapa teman laki-lakiku. Oh ayolah Rumi-san sedikit buka hatimu. Siapa tau ada seseorang yang ingin masuk kedalamnya." Gerutu Haruka.

"Iya iya, aku tau." Gumam Arumi sambil menyendok ramennya.

Malam itu penuh dengan ocehan Haruka pada Arumi agar Arumi membuka hatinya. Berbanding terbalik dengan apa yang dipikirkan Arumi bahwa malam ini dia akan mendengarkan curahan hati Haruka soal mantan kekasihnya. Yang ia dengar malah gerutu Haruka yang membuat kupingnya panas.

Arumi bukan tidak ingin membuka hatinya. Namun sampai saat ini belum ada yang bisa menggapai hatinya. Dia tidak ingin buru-buru memikirkan masalah jodoh, namun hal itu kebalikan dari orangtuanya yang menginginkan Arumi segera menikah. Sampai-sampai Arumi harus melarikan dirinya dari Indonesia ke Jepang.

"Ya Allah, bukan aku tidak ingin segera melaksanakan perintahmu. Namun aku tidak bisa jika hatiku menolak. Aku ingin seseorang yang benar-benar aku cintai, karena untuk bersama dengan seseorang yang akan menjadi imamku aku harus benar-benar mencintainya sepenuh hati bukan karena paksaan." Ucap Arumi dalam hati.

#grasindostoryinc

Sun and MoonWhere stories live. Discover now