Sun; Pertemuan

31 2 3
                                    

Arumi melepaskan mukenanya setelah selesai sholat subuh. Arumi melirik kearah Haruka yang masih tenggelam dalam dekapan selimut. Dia kemudian beranjak menuju pintu keluar dengan langkah pelan, takut jika suara langkahnya membangunkan Haruka. Wanita itu pasti lelah karena menangis semalaman bercerita soal mantan kekasihnya. Patah hati memang hal paling menyebalkan didunia ini.

Arumi sudah berada diluar kamar, dia merogoh sakunya mengambil kunci kamarnya dan membukanya. Ia langsung menuju rak buku-buku desainnya dan memasukkan beberapa buku kedalam tasnya. Kemudian dia duduk bersandar dibawah tempat tidurnya, Arumi memeriksa ponselnya. Wallpaper di ponselnya mengingatkannya tentang kedua orangtuanya. Huh! Arumi menghembuskan nafasnya yang berat. Sampai kapan dia merasa ketakutan untuk pulang kekampung halamannya sendiri, selama ini Arumi terus beralasan untuk tidak pulang kesana. Dia takut dengan kenyataan yang menyuruhnya untuk segera bertunangan dengan laki-laki pilihan ayahnya. Karena itu dia terus menahan dirinya untuk tinggal di Jepang.

Dering ponsel menghentikan pikiran Arumi seketika. Dia melihat layar ponselnya dan mendapati ayahnya yang menelponnya. Ayahnya memang selalu rutin untuk menelponnya setiap pagi seperti ini.

"Assalamu'alaikum Abi."

"Wa'alaikumsalam. Rumi, udah sholat nak?" Tanya Ayahnya.

"Udah bi, abi sama umi sehat?"

"Alhamdulillah. Umi mu lagi masak bakwan kesukaanmu, coba kamu disini." Kata Ayah Arumi.

"Ah abi, jangan gitu. Abi kan tau Rumi disini buat wujudin impian Rumi dari kecil." Jawab Rumi dengan ekspresi sedih.

"Iya, iya. Tapi kamu tuh apa gak kangen sama abi?"

"Kangen lah abi. Mana ada anak yang gak kangen sama orangtuanya kalau lagi jauh gini."

"Hm, pokoknya jangan kelamaan disana. Abi juga mau ngingetin kamu, kalau umur kamu itu udah harus punya pasangan hidup."

"Iya bi, Rumi tau. Tapi Rumi belum ketemu sama orang yang pas buat jadi imam Rumi bi."

"Kenapa sih kamu gak mau sama Farhan?"

"Abi, masalahnya Rumi gak cinta sama mas Farhan."

"Kamu coba deh mengenal Farhan dulu, abi yakin kamu pasti cocok sama dia."

"Iya abi." Jawab Arumi akhirnya mengiyakan untuk mengakhiri perdebatan dipagi hari itu dengan ayahnya.

"Nah gitu, dibuka dulu hatinya. Sudah ya, abi mau ngajarin anak-anak ngaji dulu."

"Iya abi, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Setelah mematikan teleponnya Arumi kembali menyenderkan kepalanya ke tempat tidurnya. Perkara ini lagi pikirnya. Sudah berkali-kali dia mencoba menolak keiinginan ayahnya itu tapi ayahnya tetap keras kepala. Tak jauh berbeda dengan Arumi sebenarnya, mereka berdua memiliki sifat keras kepala. Arumi kemudian bangkit dan mengambil handuknya, dia harus segera mandi dan bersiap karena hari ini ada pekerjaan ekstra dari atasannya soal rancangan baju pengantin yang mengusik hidupnya beberapa hari ini.

***

Ryota merapatkan mantelnya saat turun dari mobil. Dia menggerutu karena hari ini dia seperti pesuruh oleh kakaknya. Dari pagi dia diteror oleh kakaknya yang menyuruhnya untuk mengambil desain baju pengantinnya.

Ryota masuk kedalam sebuah toko yang merancang berbagai gaun terkhusus gaun pengantin. Didalam sana terpajang beberapa gaun indah, yang membuat siapapun sipemakai gaun itu berpikir bahwa dia seorang ratu.

"Konnichiwa." Seorang wanita menghampiri Ryota.

Ryota memperhatikan wanita itu, "Konnichiwa." Ucapnya kemudian.

"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya wanita itu.

"Aku mau mengambil desain gaun pengantin atas nama Aoyama Yamashita." Jawab Ryota.

"Oh, iya iya." Wanita itu mengangguk sambil menuju meja yang tak jauh dari sana dan mengambil beberapa kertas yang sudah disusun rapi. "Ada beberapa desain, semoga saja nona Aoyama menyukai salah satunya." Kata wanita itu tersenyum sambil menyerahkan kertas-kertas itu pada Ryota.

"Hm," Gumam Ryota, tatapannya masih tertuju pada wanita yang kini menatapnya bingung.

"Ano, ada yang bisa saya bantu lagi?" Tanya wanita itu lagi.

"Iie, namae wa? Namaku Ryota, Ryota Yamashita." Ryota mengulurkan tangannya.

Wanita itu meliriknya bingung, "Namaku Arumi, panggil saja Rumi." Jawab gadis itu sambil merapatkan kedua tangannya seperti orang berdoa dikuil pikir Ryota.

"Kenapa kau tidak mau menjabat tanganku?" Tanya Ryota tiba-tiba.

"Hm, maaf. Bukan maksudku menyinggung perasaanmu, tapi kau bukan mahramku dan aku tidak ..." Seketika perkataan wanita itu terpotong oleh teriakan seseorang yang membuatnya berlari menuju orang itu.

"Ah, hei." Kata Ryota mencoba memanggil wanita itu lagi, tapi dia tak berhasil karena wanita itu terlihat terburu-buru dan menghilang dari balik pintu. "Wanita yang aneh. Mahram? Apa itu? Apa sejenis kutukan?" Gumam Ryota, kemudian dia meninggalkan toko itu dengan pikiran yang masih penasaran dengan wanita itu atau namanya adalah Arumi, ya Rumi-san pikir Ryota. "Mungkin aku harus menemuinya lagi nanti." Bathin Ryota sambil masuk kedalam mobilnya.

***

Arumi keluar dari ruangan mister Toru yaitu atasannya, dia menghela nafas panjang lagi. Sudah berapa kali dia melakukan hal serupa hari ini, telinganya terlalu panas mendengar omelan mister Toru yang terlihat tidak sabaran untuk melihat hasil desainnya. Hal itu yang membuat Arumi selama ini selalu pulang larut malam karena mengerjakan desain baju yang terlalu rumit pikirnya.

Arumi duduk di meja kerjanya, mengamati bunga mawar yang dibelinya tadi pagi sewaktu diperjalanan kekantor untuk menghias sedikit meja kerjanya yang terlalu berantakkan dan berharap bunga ini bisa sedikit menenangkan pikirannya. Kemudian dia teringat dengan laki-laki yang baru ditemuinya tadi pagi. Laki-laki itu memiliki perawakan bak model seperti yang sering dilihatnya dari teman-teman Haruka yang juga berprofesi sebagai model. Tubuh jangkung, rambut tebal, dan pastinya wajah yang menawan. Arumi teringat tentang percakapan singkatnya dengan laki-laki itu, laki-laki itu pasti bingung pikirnya. Karena pernyataannya soal mahram, "ah, aku harap laki-laki itu tidak memikirkannya," gumam Arumi pada dirinya sendiri.

Sun and MoonWhere stories live. Discover now