13. Labirin Paling Curam

470 83 49
                                    

Transportasi ramah lingkungan itu telah memasuki pekarangan rumah. Stang sepedanya sengaja ia sandarkan pada tembok garasi, berhubung standar sampingnya tak lagi kokoh jika dilihat dari kondisinya yang mulai berkarat dan keropos bila dipaksa untuk menumpu beban, khawatir akan ambruk begitu Alex meninggalkannya.

Lelaki itu berjalan gontai menyusuri halaman rumahnya, mendapati Bang Pras sedang memandikan beberapa tanaman layu dengan selang air yang merumbai panjang di sela rumput yang tumbuh begitu lebat di sekitar halamannya. Sedari kemarin Bang Pras menyadari beberapa tanaman terlihat terkulai kurang segar, sebab tak ada satu orangpun orang rumah yang merawatnya dengan baik.

Tanpa terdengar seutas kalimat sapaan, Alex terus berjalan melewati kakak tertuanya.

"Udah kering gini gak ada satu orang pun yang peduli?"

Laju kakinya berhenti, kala Bang Pras menuturkan kalimatnya pada tujuan yang tak pasti. Lantas, Alex menoleh pada abangnya yang masih sibuk membasahi beberapa tanaman yang dedaunannya mulai berubah warna menjadi kecoklatan.

"Gak ada yang sadar atau emang sengaja dibiarin mati?" Bang Pras kembali membuka suaranya.

Masih dengan tatapan yang belum beralih, Alex terdiam di sana, menatap Bang Pras yang masih fokus dengan kegiatannya.

"Gak inget ya, kalau tanaman ini kesayangan papa."

Mendengar akan hal itu, Alex terkekeh. "Bang, sejak kapan pohon mangga jadi tanaman kesayangan papa? Papa itu gak suka asem."

Bang Pras menoleh pada adiknya yang berjarak tak jauh di belakangnya. "Waktu papa masih ada, dia rajin kok siram pohon yang ini."

Alex kembali melebarkan senyumannya nyaris pecah. "Bukan, bukan yang itu. Yang papa siram ada di bawah pohon mangga. Namanya, aglonema. Kenapa aglonema kesayangan papa? Karena katanya, tanaman itu sri rezeki alias pembawa keberuntungan buat keluarga kita, makanya papa rajin siram tanaman itu."

Bang Pras hanya menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak dirasa gatal. Barangkali menciut malu karena terlanjur ketus.

Kembali, Alex melajukan langkahnya, membiarkan Bang Pras melanjutkan kegiatannya.

Di saat yang bersamaan. Bang Pras segera membututinya. "Eca masih belum mau ngomong sama kamu?"

Lagi lagi Alex berhenti melangkah, menatap abangnya yang sudah berdiri tepat di sampingnya. "Emangnya sejak kapan orang rumah mau ngobrol sama Alex?"

Bang Pras terdiam, membuang napasnya yang mengendap sesak, bermenit-menit diselimuti keheningan, akhirnya Bang Pras kembali melangkah, mendaratkan tubuhnya pada bale-bale dipan kayu yang terpajang di bawah pohon rindang, tepi halaman rumahnya. "Sampai kapan kesalahpahaman ini terus berlanjut?" Bang Pras menatap kedua mata Alex yang kepalang jenuh kala membahas tentang hal yang seharusnya tak perlu mereka bicarakan lagi.

"Alex berada di tengah keluarga kita emang buat pajangan aja bang. Ada, tapi gak berfungsi apa-apa."

"Al, kamu pikir kenapa Eca gak mau ngomong sama kamu?" Masih dengan pertanyaan yang tetap konsisten, Bang Pras lebih menekankan dengan tegas. "Karena kamu tetap akan bersikap keras pada pendirian kamu."

Rahangnya mulai menegang, luka itu kembali meremas perlahan menguat, tak ingin ia biarkan masuk menguasai perasaannya begitu saja. Maka dari itu, Alex berakhir meremas pergelangan tangannya sekuat mungkin, menghantam luka-luka itu untuk segera pergi.

"Tanpa abang sadari, abang ngomong gini karena abang akan tetap jadi pelindung buat Eca, adik bungsu kesayangan abang."

Bang Pras menunduk, betapa sukar ia dalam keadaan yang sulit untuk dileraikan. "Padahal abang selalu memperhatikan kalian berdua. Gak ada niat sama sekali abang untuk jadi seorang kakak yang pilih kasih."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sebuah Rasa Tanpa AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang