Sudah menjadi makanan sehari-hari ia menyendiri di bangku pojokan kantin untuk menghabiskan dua jam yang hilang ulah ketidakdisiplinannya dalam mengatur waktu. Bukannya Jeje tidak mempermasalahkan akan hal itu, ia hanya berusaha mempasrahkan diri pada segala arah yang kehilangan segala penentunya, dan berakhir dirasa ya sudah kalau memang hidupnya seperti ini. Ya sudah kalau jalannya sudah begini.Ya sudah, toh mau bagaimana lagi?
Banyak kalimat ya sudah yang lain atas kepasrahan diri yang menyerahkan ia pada tujuan yang tak pasti, arahnya kepalang diseret terguncang hebat bagaikan ombak membanting para nelayan jatuh ke pesisir pantai, sebab perahunya terlanjur diterjang laut pasang, arahnya membawa ke tepian, walau niatnya untuk menghadang lautan.
Dari sekian eksistensi murid yang berada di tempat ini, Jeje tidak peduli, sekalipun mereka bolos pelajaran, yang gadis itu lakukan hanyalah memeluk dirinya lebih erat dengan kedua tangan menyilang kedinginan. Tak ada pilihan lain selain membiarkan baju yang kuyup ini kering dengan sendirinya, entah ditiup angin atau dimusnahkan perlahan oleh waktu. Sebab, tak ada harapan yang pasti jika berharap pada sang mentari yang masih betah mengumpat di balik persembunyiannya.
Di sela sedang menggigil kedinginan, sorot matanya menangkap seseorang yang tak asing. Ya, dia Alex. Lagi lagi pria aneh itu. Ia duduk di bangku kantin yang berjarak lumayan dekat dengannya, hanya berbeda tiga bangku saja dari Jeje. Terlihat jelas pria itu sedang menyeruput minuman teh dalam botol.
Sedikit jengkel Jeje menatapnya. Jengkel karena soal kemarin. Pria itu tiba-tiba menghilang ketika Jeje membutuhkan bantuan.
Alex menoleh, membuat pandangan mereka bertemu.
Jeje kembali membuang napas kesal, memalingkan wajahnya untuk menatap objek lain.
Tak ada badai. Tak ada topan. Kini, Alex duduk di hadapannya.
"Gue gak ada waktu buat ngobrol sama lo," ucap Jeje masih dengan ekspresi yang sama, jengah super jengah.
"Ya gak usah ngobrol," jawabnya easy.
"Ya terus ngapain lo nyamperin gue sampe sini?"
"Ini tempat umum, siapa aja boleh makan dan duduk di sini."
"Lo tuh aneh! Salah itu minta maaf."
"Gue minta maaf," jawab Alex segampang itu.
Jeje menatapnya semakin sinis. "Segitu minta bantuan yang gak terlalu ribet, tapi tetep aja gak dibantu, lo tuh kenapa sih?"
Alex menoleh dingin, untuk sesaat gadis itu pun ditatapnya cukup lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Rasa Tanpa Asa
RomanceSoal cinta hilang. Soal mimpi datang. Semua terlalu fana. Meski, sangat nyata. Delapan tahun bersama, diambang kepercayaan tak serupa. Jika boleh memilih, lebih baik Jeje tak mengenalnya daripada harus melupakannya. Berpisah karena iman lebih menya...