Setelah mendorong pintu mini market, langkahnya berjalan gontai di bawah cahaya lampu remang yang berjajar rapi sekitar trotoar.
Sesekali ia meneguk coca-cola dalam genggamnya, mengedarkan pandangan pada jalan raya yang masih ramai lalu-lalang kendaraan dengan kecepatan santai.
Sesampainya di halte bus, lelaki itu duduk seorang diri di bangku besi yang tersedia disana. Rupanya bus akan datang sedikit terlambat melihat jarum jam yang terus berdetak di pergelangannya menunjukkan hari semakin malam. Alex membuka tas selempangnya, tujuan awal memang untuk mengambil buku, alih-alih tangannya malah meraba kertas kanvas glossy, dan berakhir mengeluarkannya. Terlihat seorang gadis tersenyum sangat manis sebagai objek disana, gadis itu diperkirakan umur 9 tahun dengan goresan kertas foto lawas.
Terhanyut ia dalam lamunan kala umurnya masih sama dengan objek yang ia pandangi saat ini. Berlarian mengejar layangan putus bersama angin tenang berhembus dengan pelan di bawah langit yang cerah. Sampai-sampai gadis itu tersandung batu yang mengumpat di antara rerumputan yang hijau. Sigap Alex mengangkatnya menepi ke pohon rindang untuk menyandarkan tubuhnya. "Udah dibilang kan? Cewek tuh gak usah ikutan main sama laki-laki. Lecet kan tuh."
Lamunan itu berhenti, ketika seseorang lewat di hadapannya dengan pakaian jika kita telaah mungkin ia sehabis joging malam.
Alex mempertegas raut wajah wanita yang kini duduk di sampingnya. "Jeje?"
Sontak wanita itu menoleh pada sumber suara. Lalu, menarik napas panjang seolah berkata lo lagi lo lagi. "Kebetulan apa lagi ini?"
Alex hanya terkekeh. "Takdir namanya. Lagian malem malem gini kalau pulang sendirian lumayan serem loh."
"Gue gak sepenakut itu ya!" Jeje menoleh padanya dengan malas, walau setelahnya memilih untuk memandangi kendaraan yang melaju di depannya.
"Copet, gangster atau semacam orang cabul lebih serem daripada hantu jaman sekarang. Yakin gak takut?"
Terlihat Jeje mengernyitkan dahi, mendelik sinis pada ucapan yang dilontarkan Alex. "Jangan doain yang enggak enggak deh, sejauh ini gue belum berpengalaman sama hal begituan."
"Baiknya jaga-jaga dari sekarang. Dunia malam itu rawan buat perempuan. Minimal cari tempat ramai kalau emang urgent keluar rumah."
"Hng." Alih-alih setuju pada ucapannya, Jeje memilih untuk mengakhiri topik pembahasan ini. Lagipula, lelaki ini bawel betul, mengkhawatirkan suatu hal yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh dirinya sendiri.
Selang beberapa menit berlalu, keduanya dilanda keheningan karena beberapa pertanyaan dari Alex tak sekali berakhir dengan anggukan kepala. Jeje lebih memilih menikmati sejuknya semilir angin malam menembus sampai jaket yang ia kenakan, mengamati setiap kendaraan yang datang dari ujung jalan sana, berharap bus yang sedang ditunggu tiba-tiba datang untuk menyelamatkannya dari situasi canggung ini.
"Jam berapa ya ini, Dek?" Tiba-tiba seorang lelaki berumur 30-an datang dari arah barat, duduk di sebelah Jeje.
Jeje mengangkat satu tangannya untuk menangkap angka disana. "Jam 10, Om."
"Bus terakhir sudah lewat?"
"Sepertinya yang saya tunggu sekarang ini bus terakhir, Om."
Dari samping sana, Alex terus menilik percakapan keduanya.
"Terimakasih ya, Dek." Lelaki itu menepuk pelan bahu Jeje.
Dengan rasa penuh was-was, Jeje menjauhkan tubuhnya dari orang asing tersebut, mendekat pada Alex--mengingat betapa benarnya apa yang dikatakan oleh Alex barusan. Meski, orang asing tersebut tidak ada tanda-tanda aneh yang patut dicurigai, melainkan ia hanya sekedar bertanya normal layaknya manusia ramah pada umumnya. Buktinya sekarang pria itu sedang duduk rapi sambil memandangi handphonenya yang sepertinya mati total, mungkin saja ia mengkhawatirkan anak dan istrinya yang tidak bisa ia kabari, barangkali kepikiran orang tercintanya sedang menunggu kepulangannya. Semua itu terlihat kentara dari raut wajahnya yang gelisah kala pria mapan ini selalu mendelik ke ujung jalan sana, dan pastinya menaruh harapan yang sama dengan Jeje, mengharapkan bus akan datang dengan segera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Rasa Tanpa Asa
RomanceSoal cinta hilang. Soal mimpi datang. Semua terlalu fana. Meski, sangat nyata. Delapan tahun bersama, diambang kepercayaan tak serupa. Jika boleh memilih, lebih baik Jeje tak mengenalnya daripada harus melupakannya. Berpisah karena iman lebih menya...